B 14

3K 270 3
                                    

"Mau apa lo kesini?" Tanya Bayu di ambang pintu.

"Nganter ini." Jawab Derren mengangkat bag salad yang ia bawa.

"Nggak butu-"

"Bay, lo nggak bisa gini terus. Gue mau tanggung jawab ke Biya. Please kasih gue kesempatan." ucap Derren menahan agar pintu tidak ditutup. Bayu menatap sinis ke arah Derren.

"Mana?" Derren tersenyum kemudian menyerahkan salad yang ia bawa.

"Gue ma-, sial!" Umpat Derren saat Bayu menutup pintu tanpa mempedulikannya.

"Tumben banget lo beliin tanpa gue minta," ucap Biya sebelum memasukkan salad ke mulutnya.

"Bukan dari gue,"

"Hm, ayah ya?" Bayu menggeleng.

"Gibran?"

"Gibran gatau lo suka salad yahuud," Biya mengangguk. Iya juga, mereka belum terlalu akrab saat salad ini jadi makanan favorit Biya.

"Terus?"

"Duren," Biya menghentikan suapannya. Ia menutup box yang sudah berkurang seperempat.

"Lo kok nggak bilang sih Bay?" Kata Biya menyodorkan salad itu kembali ke Bayu.

"Lanjut aja, nggak mungkin dikasih racun."

"Tapi kan ini da-"

"Lo suka kan? Nggak mual kan? Dari pagi lo muntah terus setelah makan Biy. Lo bisa sakit kalau perut lo kosong."

Biya membuka kembali box itu. Tapi ia hanya mengaduk-aduk buah yang ada di dalamnya.

"Bay, what do you think about... abortion?"

Bayu menghentikan gamenya. Kemudian menatap kembarannya serius.
"Biy lo jangan gila!" Biya menunduk.

"Gue ga mau hamil Bay,"

"Tapi itu tidak menyelesaikan masalah Biya. Dan gue yakin lo nggak akan tega. Lo bukan orang jahat Biy."

"Terus gue harus gimana? Perut gue akan semakin gede, gue harus gimana pas kuliah? Belum lagi nyiyiran tetangga, gue harus gimana Bay?"

"Tapi lo akan menyesal seumur hidup kalau lo melakukan hal bodoh itu."

"Dan gue akan malu seumur hidup kalau mempertahankan ini!"

"Istighfar Biy, semua tidak akan seburuk yang lo pikirkan," sahut Gibran dari ambang pintu.

"Boleh gue ngobrol sama Biya bentar Bay?" Bayu mengangguk membiarkan Gibran masuk.

"Lo mau cerita?" Biya terdiam.

"Kalau gitu gue yang akan cerita." Gibran duduk di ranjang Bayu yang bersebrangan dengan sofa yang Biya duduki.

"Pasti lo udah tau kalau gue terlahir tanpa ayah. Umi berusaha keras membesarkan gue seorang diri." Biya masih dengan kegiatan mengaduk-aduk salad di depannya.

"Saat SMP, gue pernah tanya. Kenapa Umi memilih mempertahankan gue dengan segala konsekuensinya. Padahal kalau beliau memilih melepas gue, Umi ga akan di usir dari keluarga, bisa lanjut kuliah, bisa menikmati masa mudanya, dan mungkin aja akan menikah kemudian memiliki keluarga yang bahagia."

"Tapi beliau melepas semua itu cuma demi gue Biy."

"Lo tau alasannya?" Biya menggeleng.

"Karena umi tau, meski gue hadir dari kesalahan, tapi setiap anak adalah anugrah terbesar yang Allah beri. Banyak orang di luar sana yang nggak dikasih kesempatan memiliki anak padahal mereka sangat mengharapkannya."

B [Completed]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz