B 32

3.5K 290 0
                                    

"Assalamu'alaikum," Biya dan Mama Dea menoleh ke pintu. Ada orang tua Biya, mungkin Bayu yang menelpon.

"Wa'alaikumsalam warahmatullah,"

Dea bangkit dari duduk, memberi ruang untuk Aya dan Biya. Biya nampak ingin kembali menangis saat sang Bunda mengusap punggung tangannya.

"Udah lebih baik kan?" Biya mengangguk namun air matanya ikut meluruh.

"Derren mana?" Tanya Aldi duduk di sofa yang ada di ruangan tersebut.

"Ambil keperluan Biya bang." Jawab mama Derren sambil membereskan barang-barangnya.

"Biy, karna udah ada Ayah Bunda, Mama lanjut kerja dulu ya," pamit Dea karena sebenarnya dia masih dalam sift kerja, hanya saja sudah tidak ada jadwal dengan pasien.

Biya mengangguk.
"Makasih ya kak," ucap Aya mewakili Biya.

"Mama kesini lagi selesai sift."

Aldi ikut menghampiri Biya setelah Dea keluar. Ia mengusap kepala Biya yang tertutup kerudung rumah sakit. Membuat Biya beralih menatap Ayahnya dengan mata berkaca-kaca.

"It's okay kak, nggak apa kalau mau menangis." Ucap Aldi saat melihat Biya berusaha menahan tangisnya.

"Sekarang Biya harus gimana, Yah? Dia yang jadi alasan Biya ada di posisi ini. Kalau dia pergi Biya harus gimana?"

"Kak, hidup dan mati itu hanya milik Allah. Kalau dia pergi, artinya Allah tidak berkehendak. Bukan Allah tidak sayang dengan dia atau kakak. Tapi Allah punya rencana yang lebih baik, pasti, kakak harus yakin itu." Ucap Aya menghapus air mata putrinya.

"Bunda kamu benar sayang. Kakak merasa kehilangan itu wajar. Tapi bukan berarti meragukan kembali langkah yang kakak ambil. Ayah yakin terlepas dari keberadaannya, kakak sudah meluruskan setiap langkah kakak untuk Allah. Maka kepergian dia bukanlah alasan untuk berhenti dari apa yang sudah kakak mulai."

"Bunda yakin Derren setuju dengan apa yang dikatakan Ayahmu. Tidak ada yang tau peristiwa ini akan terjadi. Maka yang bisa kita lakukan hanya melanjutkan apa yang sudah dimulai, termasuk soal pernikahan kakak."

"Gapapa untuk healing sejenak. Take your time, kalian pasti butuh waktu untuk menerima ini dan berdiskusi mau dibawa kemana pernikahan kalian. Kami sebagai orang tua hanya bisa mendoakan yang terbaik."

***

Malam ini Biya masih harus rawat inap di rumah sakit.

"Der, pecel lele depan enak deh." Ucap Bayu yang memang sejak magrib menemani Biya.

"Gue nggak peka, sorry." Sahut Derren tau betul maksud adik iparnya.

"Serius gue laper."

"Yaudah sono beli sendiri."

"Lemes banget gue dari siang belum makan."

"Lagi pake kaca mata jadi nggak denger." Ucap Derren membenarkan letak kaca mata anti radiasinya.

"Lo gitu amat sama gue. Gini-gini gue kakak ipar lo, masa nggak ada segan sama gue sih."

"Karena Biya lebih tua, lo adek ipar gue, bukan kakak ipar."

"Ck, terserahlah. Tolong beliinlah, Der."

Derren memutar mata malas.

"Biya mau makan lagi ngga?" Tanya Derren setelah men-sleep laptopnya. Biya menggeleng, ia masih tidak nafsu makan.

"Seblak mau?"

"Bener?" Tanya Biya berbinar.

"Der, lo jangan aneh-aneh deh." Peringat Bayu.

B [Completed]Where stories live. Discover now