B 20

3.5K 261 8
                                    

"Mau mampir ke rumah?" Tanya Gibran membuyarkan lamunan Biya.

"Ada umi di rumah." Lanjut pemuda itu. Biya tampak berpikir. Apa dia menceritakan kegelisahannya pada umi Gibran saja? Beliau sudah pernah melewati masa-masa sulit ini sebelumnya, mungkin ia bisa lebih tercerahkan.

"Boleh deh Gib." Jawab Biya tersenyum. Gibran mengalihkan pandangannya.

"Kadang gue masih nggak percaya kita saudara." Ucap pemuda itu dengan tatapan lurus ke jalanan.

"Aneh ya? Banyak kejadian tak terduga belakangan ini." Kali ini tatapan Biya kosong.

***

"MasyaAllah, gimana kabarnya? Kok pucet gini sih, pasti belum makan," sambut Gina setelah menjawab salam.

"Umi masak kesukaan Gibran, makan dulu yuk."

Biya memberi kode pada Gibran. Tapi pemuda itu justru menatapnya bingung.

"Kenapa Biy?" Biya menghela napas. Tidak membantu sekali.

"Biya nggak bisa makan Umi. Maksudnya nanti Biya mual kalau makan."

Gina menatap bingung Biya. "Kamu ada maag?"

"Eng, bu-bukan." Biya kembali menatap Gibran. Kali ini pemuda itu menggeleng.

"Gue nggak ada cerita ke Umi." Pantas saja, batin Biya. Biya pikir umi Gibran sudah tau.

Gibran memang tak menceritakan apa yang Biya alami ke Uminya. Ia hanya takut Biya tak suka jika menceritakan ini kepada orang lain, sekalipun itu uminya.

Sementara Biya justru bingung. Niatnya ingin curhat dan minta saran, tapi ternyata umi Gibran tidak tau apa-apa.

"Cerita apa?" Tanya Gina penasaran.

"Umi udah makan? Makan dulu yuk, Biya ikut nemenin aja."

"Umi udah makan barusan. Ayo ke ruang keluarga aja kalau kakak gamau makan. Umi kangen sama kamu."

Biya berjalan pasrah saat dibawa masuk ke ruang keluarga.

"Jadi kenapa? Kamu lagi sakit pencernaan?"

Biya nampak menimbang. Tapi bukankan beliau juga Ibunya? Justru tidak etis jika Umi tiba-tiba melihat perutnya besar besok.

"Biya hamil, Umi." Senyum manis di wajah Gina hilang tiba-tiba. Ia melihat Biya yang nampak takut saat mengatakannya.

Ingatannya kembali pada kejadian 23 tahun silam.

"Gue hamil,"
"Gina hamil, Ma, Pa."

Dan saat itu yang mereka lakukan adalah menyalahkannya. Mencaci maki, menampar, dan mengusirnya. Padahal ia butuh berharap orang-orang terdekatnya akan membantu. Ah, satu pelukan pun Gina rasa akan sangat berarti saat itu.

Maka yang Gina lakukan sekarang memeluk Biya. Ia pernah ada di tahap ini, dan rasanya sangat sulit.

"Semuanya akan baik-baik aja Kak," bisik Gina saat Biya mulai menangis.

"Umi tau ini berat kak," ucap Gina setelah Biya lebih tenang.

"Dulu, saat umi tau kalau umi hamil, umi takut, benar-benar takut. Umi sempat kepikiran untuk menggugurkan kandungan itu. Tapi syukurlah saat itu umi tidak jadi melakukannya. Umi tidak tau apa yang terjadi jika umi melepas Gibran, mungkin aja umi bisa gila karena rasa bersalah. Membunuh apalagi anak sendiri, bukankan itu anak meninggalkan trauma mendalam? Jadi umi bersyukur karena tidak melakukan hal bodoh itu. Dan lagi dari dulu sampai sekarang keberadaan Gibran menjadi alasan utama umi bisa bertahan." Gina mengusap punggung Biya agar perempuan itu lebih rileks.

B [Completed]Where stories live. Discover now