B 21

3.1K 247 8
                                    

"Tapi menjadi orang tua tunggal tidak mudah kak," Biya menghentikan langkahnya memasuki ruang keluarga.

"Biya punya kita, semua tidak akan seberat itu." Aya menghela napas. Berjalan mondar-mandiri di dekat Aldi yang duduk di sofa.

"Tidak dengan perasaan anak Biya nanti. Aya besar tanpa Bunda kak, rasanya sangat tidak enak. Kakak besar tanpa perhatian ayah, apa itu tidak membuat kak Al mengerti kalau setiap anak butuh kedua orang tuanya? Itu akan berat untuk anak Biya nanti."

"Dia akan tetap merasakan sosok ayah, Derren ada disini, nggak ada yang perlu dikhawatirkan." Ucap Aldi yang tampak ragu dengan perkataannya sendiri.

"Dan kakak membiarkan hubungan seperti itu? Bagaimanapun mereka bukan mahram, setiap interaksi berlebihan keduanya menimbulkan dosa."

Biya mengerjap, ia juga tidak memikirkan hal itu.

"Kak Al pikir ini akan normal saat Derren datang kesini hampir setiap hari, memberi perhatian ke Biya, melakukan ini itu untuk putri kita dengan status sebagai teman? Kakak pikir itu wajar?"

"Belum lagi hormon kehamilan Biya yang sepertinya ingin dekat dengan Derren. Kakak pikir ini akan mudah untuk Biya dan kehamilannya?" Biya melihat bundanya tampak emosional.

"Tapi aku nggak bisa memaksakan ini ke Biya, Ay. Aku ga mau Biya tertekan."

"Maka kita beri pengertian pelan-pelan. Bukan membiarkan Biya memilih sendiri tanpa arahan. Ini bukan hanya untuk Biya kak, tapi juga calon anaknya. Aya nggak mau semakin banyak yang terluka nantinya."

Semua semakin menyedihkan saat Biya melihat Bundanya menangis.

"Maaf Aya bentak-bentak kakak." Ucap Bunda Biya saat ada dalam pelukan Aldi.

***

Pagi ini Derren datang untuk numpang sarapan ke rumah Aldi. Sekaligus memastikan Biya bisa makan, mengingat perkuliahan sudah libur, jadi Biya tidak bisa sarapan di kelas seperti biasa.

"Makanya ayo menikah Biy, biar lo bisa terang-terangan liat gue kalau makan." Kata Derren yang menyadari Biya meliriknya sambil memasukkan makanan ke mulut.

"Lo nggak usah banyak ngoceh," semprot Bayu membuat Derren kicep.

"Oke," ucapan Biya membuat semua orang menghentikan pergerakan mereka.

"Lo? Ma-maksudnya gimana?" Tanya Derren ingin memastikan.

"Lo ngajak nikah kan? Oke ayo," kali ini Aldi menelan paksa makanan di mulutnya sebelum bicara.

"Kakak ngomong apa?" Tanya Aldi memastikan lagi.

"Biya mau nikah sama Derren." Ucap Biya mencoba biasa saja. Padahal ia sangat gugup sebenarnya. Apalagi tatapan semua orang yang nampak belum puas dengan jawaban itu.

"Kok mau?" Tanya Derren ling lung.

"Lo nggak mau?" Pemuda itu menggeleng cepat kemudian mengangguk.

"Maksudnya mau, gue mau. Ayo menikah!" Sahut Derren semangat. Walau ia masih bingung kenapa Biya tiba-tiba mau menerima ajakan menikahnya.

"Kakak serius?" Tanya Aya tegas. Biya mengangguk.

"Kenapa?" Kali ini Bayu yang bertanya. Pasalnya Biya tidak bercerita dulu padanya. Ia terkejut, sangat terkejut dengan keputusan ini.

"Ada banyak yang jadi pertimbangan. Point utamanya, Biya nggak mau egois." Selain tentang calon anaknya, ia juga sadar semua orang mengkhawatirkan kondisinya saat ini. Hamil di luar nikah, bagaimana mungkin mereka tidak khawatir.

"Kak, ini beneran?" Tanya Ayahnya dengan raut serius.

"Biya ketemu umi kemarin. Banyak insight baru yang selama ini tidak Biya pikirkan. Dan ya, Gibran juga membuat Biya semakin sadar kalau ini bukan hanya tentang Biya tapi juga calon anak Biya." dan kalian semua yang mengkhawatirkan kondisi Biya.

B [Completed]Where stories live. Discover now