25. Marry Me?

3.3K 284 37
                                    

Selain tatapan teduh Kevin, Sheila juga jatuh cinta pada senyumannya. Malam ini Sheila kembali terpikat lengkungan bibir Kevin yang tampak lebih lebar, kentara tengah bahagia. Euforia terasa dari suara tawa dan caranya menyapa orang-orang. Wajah berseri-seri Kevin menjadi yang paling tampan di mata Sheila, dan Sheila sungguh bersyukur dapat menjadi saksi bagaimana Kevin sukses menggapai cita-cita. Satu dari lima top goals-nya kini mewujud nyata; berdiri di stage untuk menghibur tiga puluh ribu penonton yang hadiri GBK.

Ah, Sheila serasa mau lari ke Kevin sekarang juga demi membisikkan betapa ia bangga pada sang kekasih. Sayangnya Sheila harus menahan diri lantaran di sebelah sana Kevin sedang sibuk menandatangi poster sembari sesekali menampilkan pose sok cool saat ada yang mengajaknya berfoto.

Suasana di back stage agak ramai, dan Sheila sejak sepuluh menit lalu hanya duduk di sofa bersama Gisella sambil memperhatikan pacar masing-masing. Sampai kemudian Kevin diam-diam melipir ke arah Sheila dan langsung menarik pelan lengan perempuan itu ke ruang ganti. Melihatnya, Gisella cuma mendengkus geli. Ia mengerti, dua temannya yang baru resmi balikan itu bawaannya ingin mojok melulu.

Kevin buru-buru menutup pintu, tak lupa menguncinya. Ia menyudutkan Sheila ke dinding sambil mengukir senyum lembut, lantas menggapai pinggang ramping sang kekasih dan menariknya lebih dekat. Si cantik terkekeh sembari mengalungkan lengan ke leher Kevin, mendongak, menatap lurus-lurus sepasang mata yang selalu membuatnya tenggelam.

"Cantik banget," puji Kevin.

"Pacar siapa dulu?"

"Pacar gue." Kevin menghela napas, tak kuasa menahan gemas lantaran perempuannya baru saja mengerutkan hidung dengan cara yang begitu lucu.

"Tadi gue malu banget," kata Sheila sambil memajukan bibir bawahnya sekejapan, bikin Kevin tanpa sadar mengulum bibir sendiri. "Pas jalan ke sini banyak yang teriak-teriak manggil gue. Kata mereka, pacar Kevin, woy! Gitu, masa? Gue sempet takut diamuk."

Kevin terkekeh. "Kenapa malu? Malu punya pacar kayak gue?" godanya.

"Enggak, ih!" Sheila pukul pelan dada Kevin. "Malu karena dicengcengin. Maksud gue tuh ... jangan gitu, njir! Gue salting!" Perempuan itu tiba-tiba menubrukkan pelan dahinya ke dada Kevin demi sembunyikan semburat merah yang menggores kedua pipinya.

Kevin tergelak pelan, mampus sudah sesuatu di dalam dirinya menyaksikan tingkah Sheila. Ia merunduk sekejapan demi sematkan dua kecupan singkat di kepala sang kekasih. Wangi manis langsung singgahi indra penciuman Kevin, wangi shampoo favorit Sheila. Wangi yang jadi favorit Kevin juga, sebab hal-hal yang Sheila suka, Kevin secara otomatis ikut menyukainya.

"Thanks ya, Shei, udah mau nemenin gue sampai ke titik ini. Jangan bosen nemenin gue berproses." Sejatinya di antara banyak suka cita yang malam ini Kevin rasakan, ada sekelumit sendu yang menelusup ke hati. Kevin tidak menemukan keberadaan orang tuanya. Ia masih berharap dianggap, berharap pencapaian ini sedikit bisa membuat mereka bangga. Akan tetapi ekspektasi Kevin dihajar realita. Beruntung Sheila ada di sini, dalam dekapannya—obati lara yang menggerogoti jiwa lelaki itu.

Sheila kembali ke posisi berdiri tegap, menatap Kevin dengan sorot bangga. Ia ulas senyum menenangkan, sadar bahwa Kevinnya sedikit nestapa. "Hei, Sheila is here. Malam ini tolong fokus ke diri sendiri dan orang-orang yang sayang ke elo aja, oke? Bukan berarti mereka enggak sayang sama lo, tapi mungkin mereka lagi ada kesibukan. Mereka pasti bangga banget punya putra yang enggak menyerah dengan cita-citanya sampai akhirnya berhasil menggapai cita-cita itu. Mereka pasti bangga, lebih bangga dari yang gue rasa." Jemari Sheila bergerak lembut di pipi Kevin, mengusapnya dengan sayang. Oh, Tuhan, Sheila tidak suka mendapati sorot nanar di mata Kevin, maka jika ia bisa, ia bakal usahakan seluruh bahagia yang ada di dunia untuk lelaki ini. "Gue bangga sama lo. Sangat. Kevin keren banget, seriusan."

[✓] Friends with BenefitsWhere stories live. Discover now