23. Ineffable

3.1K 299 50
                                    

Pergumulan Sheila dan Kevin di mobil Marka berakhir setengah jam kemudian. Keduanya terengah-engah dengan posisi Sheila masih berada di pangkuan Kevin, memeluk erat leher lelaki itu. Sheila menyembunyikan wajah di ceruk leher Kevin, tiba-tiba merasa malu lantaran sudah kelewat binal. Ia tak tahu dapat keberanian dari mana sampai-sampai duluan meminta. Haduh, Sheila tak sanggup melihat mata Kevin sekarang. Namun, tidak mungkin bakal bertahan dalam posisi ini hingga pagi menjelang, 'kan?

Bisa-bisa digrebek Jeje.

"Babe?" bisik Kevin setelah napasnya tak menderu lagi. "Cuddle-nya pindah kamar aja, yuk? Kalau kelamaan di sini takutnya ada yang turun buat ngambil jagung." Tangan Kevin menelusup ke balik baju Sheila demi kaitkan kembali tali bra perempuan itu. Ia sematkan kecupan-kecupan ringan di bahu Sheila selagi menunggu jawabannya.

"Malu," cicit Sheila.

Kevin terkekeh, kali ini tangannya naik ke kepala Sheila, menyatukan helaian hitam nan halusnya ke dalam satu ikatan. Mengikatnya secara asal. Asal tak tergerai dan membuat Sheila kegerahan. "Malu kenapa? Kan pake baju—aw!" Kevin mengaduh tertahan lantaran tengkuknya dicubit sayang.

"Gue binal banget, astaga."

"Gapapa, Shei. Gue suka."

Sheila mendesis, kemudian menggigit main-main cuping telinga lelaki itu.

"Jangan digigit entar tegang lagi."

Sheila beringsut menegakkan pundak, menyelaraskan tatapan dengan Kevin. Di bawah naungan cahaya remang, ia pandangi rupa tampan Kevin, intens. Haduh, Sheila tenggelam lagi dalam teduhnya binar di mata sayu lelaki itu. "Jangan bercabang lagi perasaannya, ya?" Jemari Sheila menyusuri rahang Kevin, lantas berhenti di sudut bibir, mengusapnya dengan lembut. "You hurt me, but you also heal me. Perasaan gue buat lo ternyata lebih besar dari yang gue pikir, jadi ke depannya tolong konsisten kasih gue bahagia aja, ya?"

Kevin mengulum senyum, matanya berkaca-kaca. Ia mengangguk. Elus pipi Sheila. Tentu saja Kevin akan jadikan kesalahan kemarin sebagai pelajaran berharga. Bakal berusaha untuk tak mengulanginya. Bakal ia jaga Sheila dengan sebaik-baiknya.

"Gue mau, Vin. Mau untuk jadi bagian dari keluarga kecil bahagia yang selalu lo idam-idamkan itu. Jadi perempuan yang pertama kali lo lihat pas buka mata di pagi hari, jadi perempuan yang terakhir lo lihat sebelum tidur. Gue mau menyambut lo tiap pulang kerja. Ngerawat lo pas lo gak baik-baik aja. Gue mau membersamai lo di setiap momen, di senang dan sedih lo, di sibuk dan luang lo. Gue mau ada di sana; di sisi lo selama yang gue bisa." Bulir bening luruh dari mata Sheila bertepatan dengan tangannya naik ke pipi Kevin yang telah lebih dulu basah. "I want to be your weakness and strength, and give my forever to you."

Kevin yang tak mampu berkata-kata lantas mendekap erat raga wanita yang amat ia cinta. Beruntai-untai terima kasih menggema di benaknya, kapan-kapan bakal Kevin lisankan, sebab untuk sekarang Kevin mau mengungkapkan rasa syukurnya melalui hangat pelukan ini saja.

"Gue pulang, Shei ...," bisik Kevin dengan suara agak goyah. "Kevin beneran pulang dan akan menetap."

"Tepati, Kevin."

"I'll try my best."

"Crybaby," gumam Sheila, mengejek Kevin, padahal Sheila menangis juga.

Setelah beberapa saat terperangkap suasana melankolis, Sheila pun lekas beranjak ke samping Kevin. Mereka merapikan pakaian masing-masing.

Kevin lebih dulu turun dari mobil, berjalan ke sebelah lain kendaraan tersebut untuk membukakan Sheila pintu. Sheila mengulum senyum kala Kevin menyuguhkan punggungnya sambil sedikit merunduk; bersiap menggendong Sheila. Usai bercinta, Sheila memang akan sangat-sangat manja dan kerap memperbudak Kevin dengan menyuruh lelaki itu menggendongnya ke mana-mana di dalam apartemen. Kevin kini siaga. Namun, kali ini Sheila menolaknya.

[✓] Friends with BenefitsWhere stories live. Discover now