9. The Truth

2.2K 286 46
                                    

Sheila kira Jamie berkunjung sebagai teman, tetapi begitu membuka pintu dan tubuhnya langsung didesak ke dinding oleh lelaki itu, Sheila tahu bukan dirinya yang mau Jamie tuju. Sorot sendu nan nelangsa yang Jamie tunjukkan menegaskan segalanya; Jamie butuh obat. Jamie sedang disiksa penyesalan. Namun, Sheila kepalang berjanji pada Kevin, akan berhenti melakukan ini. Maka ketika Jamie merangsek maju, hendak gapai bibir Sheila demi tuntaskan rindu, Sheila sekuat tenaga menahan dada Jamie.

"Gak mau," bisik Sheila. Ditatapnya memohon mata Jamie. "Gak lagi."

Jamie tetap di posisi, pertahankan kedua tangan yang mengungkung tubuh Sheila. "Sekali lagi aja, Shei."

"Gue udah janji ke Kevin."

"Ingkari untuk sekali aja."

"Jamie ...." Sheila mengiba.

Jamie terdiam, kian dalam tatapannya menyelami mata Sheila. Menemukan kesungguhan di manik kecokelatan Sheila membuat Jamie menghela napas, lantas ia jatuhkan kening di bahu sempit perempuan itu. "Dada gue sakit, Shei. Sakit karena penyesalan."

Tak bisa berikan obat yang biasanya mampu meredakan kesakitan Jamie, maka Sheila usap perlahan punggung lelaki itu. Sheila biarkan kesenyapan meraja, mendekapnya dan Jamie yang sedang terluka. Bermenit-menit pudar dalam posisi itu, sampai kemudian Sheila rasakan basah di bahunya, disusul suara isakan tertahan. Sheila hentikan pergerakan tangan, tertegun.

"Jam, lo nangis?"

Jamie tak membalas.

Sheila mendorong pelan dada Jamie hingga tercipta sedikit jarak, lalu ia angkat dengan lembut dagu lelaki itu demi dapatkan keleluasaan menatap wajahnya. "Jam?" Sheila tercekat menemukan air mata sungguhan basahi pipi Jamie. Mata sendu yang sarat kepedihan itu mengingatkan Sheila ke tahun penuh duka, tahun di mana Sheila nyaris kehilangan Jamie. "Hei, kenapa sampe nangis, Jam-Jam?"

"Today ...." Jamie tangkup punggung tangan Sheila yang sedang usap jejak basah di pipinya. "Her birthday, Shei."

Ah, benar. Sheila baru ingat. Enam Maret adalah ulang tahun dia. Jamie biasanya menemui dia di tanggal ini, tetapi kenapa malam ini Jamie malah mendatangi Sheila dengan segores sendu di kedua matanya? Kenapa mendatangi Sheila dan goyahkan keteguhan Sheila untuk berhenti?

"Sekali lagi," gumam Sheila, "untuk terakhir kali, oke? Habis ini jangan minta lagi obat ke gue, nanti Kevin marah," Sheila meminta maaf pada Kevin dalam hati sebelum menarik rahang Jamie mendekat. Ia memejam, mencoba hadirkan bayang-bayang wajah Kevin tatkala Jamie mulai menyatukan bibir mereka. Pagutan yang Jamie berikan selalu lembut dan sarat keputusasaan, membangkitkan kenangan buruk yang Sheila simpan rapat-rapat. Sejatinya, porak poranda tidak menimpa hati Jamie seorang, lantaran Sheila pun remuk redam setiap kali kejadian di masa silam datang dan berlarian di kepalanya.

Pagutan bibir mereka berlangsung lebih lama dari biasanya sebab Jamie tahu ini bakal jadi terakhir kalinya.

Namun, takdir tidak mengabulkan mau Jamie. Pintu terbuka, interupsi kegiatan panas Jamie dan Sheila. Hanya ada satu orang yang Sheila beri tahu password pintu apartemennya.

"Vin?" Sheila beringsut mendorong Jamie, sejurus kemudian terpaku.

Di ambang pintu, Kevin mendadak beku. Terkejut luar biasa disambut pemandangan tersebut. Sepersekian detik ketiganya dibelenggu bisu, waktu seakan melambatkan laju, mencipta canggung. Bikin mereka sungkan bahkan untuk sekadar bernapas.

Kevin tahu Jamie sering melakukan yang demikian dengan Sheila, tetapi melihat secara langsung jadi kali pertama seumur hidupnya. Maka demi mencairkan suasana, Kevin paksakan tawa walaupun kentara terdengar dibuat-buatnya. Ia acungkan kantung plastik di tangan, pesanan Sheila sejam lalu. "Sate! Sorry lama, Shei. Gue ada urusan sebentar tadi." Dan seolah tak terjadi apa-apa, Kevin menggeser tatapannya pada Jamie, melempar senyum jenaka. "Jangan matiin hp, nyet! Bang Jeje nyariin lo, noh! Kita ada manggung dadakan jam sembilan nanti, gantiin Elegi. Barengan aja kita baliknya. Tunggu gue di basement."

[✓] Friends with BenefitsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang