14. Too Late?

2K 311 68
                                    

Konser Sheila on Seven di Pussenif tidak pernah sepi penonton. Seperti malam ini, ratusan orang padati tanah lapang tersebut. Di antara banyaknya manusia yang terbuai euforia, bernostalgia lewat lagu-lagu lawas yang Duta dan kawan-kawan bawakan, Sheila jadi salah satunya. Namun, tidak seperti konser-konser yang biasa ia datangi, kali ini Sheila tidak terlalu menikmati jalannya pertunjukkan. Fokus perempuan itu terdistraksi oleh keberadaan Kevin dan Kamila di sebelahnya. Sehingga alih-alih menatap ke depan, tatapan Sheila lebih sering terarah ke samping.

Sheila berdiri persis di depan barikade bersama Arjuna, Jamie, Kevin, dan Kamila. Seharusnya ada Jeje, Anggi, Joan, dan Gisella—tetapi mereka datang belakangan sehingga tidak mampu merangsek ke bagian depan.

Banyak lagu sudah dinyanyikan, dan selama itu pula Sheila melihat Kevin begitu larut dalam pertunjukkan. Kevin berdiri di belakang Kamila, tak berjarak punggung Kamila dari dada Kevin. Satu tangan Kevin merengkuh sepanjang garis bahu Kamila, sesekali naik ke puncak kepala demi berikan elusan singkat. Beberapa kali mereka melompat kecil, menyatu dengan beat lagu—tampak enjoy dan seolah-olah tak peduli sekitar. Dunia milik berdua.

Sheila berkali-kali termenung sambil menatap nanar Kevin yang selangkah di depannya. Riuh suara penonton memudar perlahan, melempar Sheila pada kesunyian semu yang disesaki kecemburuan dan sakit hati. Di sana, dalam dekapan Kevin, adalah tempat Sheila. Dirinya yang terbiasa tempati posisi tersebut, yang tertawa-tawa sambil bernyanyi dengan Kevin, yang rambutnya berulang kali dielus oleh Kevin di sepanjang jalannya konser. Kini, saat lengan Kevin merengkuh bahu lain, saat jemari Kevin susuri rambut perempuan lain, saat tatap Kevin tak beradu dengan tatapannya, Sheila merasa hampa. Tidak peduli meskipun Jamie lakukan hal serupa, rasanya berbeda. Sesuatu tetap hilang.

Apa sesakit ini cemburu sama temen? Benak Sheila bertanya. Atau kerasa sesakit ini karena gue tanpa sadar udah anggap dia lebih dari temen?

Belakangan Sheila bingung dengan perasaan sendiri. Kecemburuan pada Kamila terasa janggal. Sheila benci meraba-raba apa yang dirasa hati, sebab segala spekulasinya malah membawa perempuan itu pada satu kesadaran; mungkin selama ini dirinya sudah kelewat mencintai sang sahabat, hanya saja tidak Sheila sadari lantaran terbiasa melihat Kevin sebatas teman.

Karena Kevin selalu ada, tak pernah meninggalkannya, bikin Sheila merasa cukup dengan hubungan tersebut. Sheila tak pernah peduli atau pun cemburu pada para perempuan yang mendekati Kevin, mungkin, karena tahu Kevin hanya melihat ke arahnya.

Sekarang ketenangan Sheila terusik karena kehadiran Kamila. Sheila menyadari wanita satu ini ditatap beda oleh Kevin. Sheila tidak suka, tak rela, tak boleh. Sheila sepertinya mulai mampu memahami arti dari keabu-abuan perasaannya selama ini.

"Shei, lo gapapa?" tanya Jamie.

Sheila terenyak, buru-buru alihkan atensi dari punggung Kevin. Ia agak menoleh demi melihat wajah Jamie, lalu menarik turun lengan lelaki itu yang sedari tadi mendekap sepanjang garis bahunya. "Hah? Kenapa nanya gitu?" Sheila mengerjap, tiba-tiba penglihatannya memburam dan berputar. "Eh? Kok gue pusing, ya?"

"Lo keringetan banget ini." Jamie menyeka kening Sheila, basah dan terasa agak dingin. "Keluar aja, yuk?"

"Susah, Jam."

"Bisa." Arjuna menyahut. "Nanti gue yang buka jalan. Mending keluar aja."

"Enggak, deh. Gue masih kuat, kok."

"Tapi kalau gak kuat langsung bilang, jangan ditahan-tahan dan nunggu ambruk dulu." Jamie mewanti-wanti.

Sheila mengangguk, lantas kembali menghadap ke depan, kembali ia biarkan lengan Jamie mendekap sepanjang garis bahunya. Sheila menghela napas samar, berusaha untuk fokus ke panggung, berusaha mengabaikan kenyataan tentang Kevin yang tak lagi menjadi orang paling khawatir saat dirinya kenapa-napa.

[✓] Friends with BenefitsWhere stories live. Discover now