16. Pacar!

2.2K 265 108
                                    

Setelah pertengkaran di halaman Galeri, Kevin mengantarkan Sheila ke apartemen. Lelaki itu tidak langsung pulang, memilih tinggal sebentar demi meluruskan banyak hal. Kini, mereka duduk di sofa, bersisian, saling mendiamkan sudah hampir lima belas menit. Sheila menyandar pada sandaran sofa, agak menyerong, berikan Kevin punggungnya. Kevin sama menyandar, tetapi tatapannya terfokus ke atas, sesekali terdengar helaan napas panjang sarat beban. 

"Shei," panggil Kevin, punggungnya sudah menegak. Ia menggapai bahu Sheila, mengusapnya lembut demi tarik atensi perempuan itu. Namun, Sheila bergeming, bahkan semakin jauh menggeser pantat hingga tangan Kevin jatuh dari bahunya. Si lelaki malah terkekeh, mengusap wajah, lalu menghela napas lagi. "Shei, let's talk. Gue punya banyak hal yang mau diomongin, tapi gue gak suka ngomong sama punggung, gue mau lihat wajah lo yang cantik aja. Ya punggung lo emang cantik juga sih, tapi gak enak diajak ngomong, enaknya dipeluk—"

"Berisik!" Sheila menyalak galak.

Kevin mengulum bibir, menahan tawa. Ia meringkas jarak demi pertemukan dadanya dengan punggung Sheila. Kedua lengan Kevin menelusup ke pinggang perempuan itu, memeluk dari belakang. Diam-diam senyum Kevin merekah lantaran Sheila tak menolak sentuhannya. "Babe, I have something to tell you, mind to hear?"

Sheila memejam sekejapan karena tengkuknya meremang hebat. Suara berat Kevin menggelitik tak hanya menggelitik gendang telinga, tetapi bikin Sheila merinding sekujur badan.

Kevin singkirkan rambut yang tutupi pundak Sheila, lalu menyematkan beberapa kecupan di tengkuknya. "Lo tau nggak kenapa hari ini gue ajak lo nyari cincin?" tanya Kevin, sejurus kemudian terkekeh karena Sheila balas tanyanya dengan dengkusan. "Karena lo calon gue. Bentar—" kata Kevin sambil mengaduh tertahan sebab Sheila berontak dan tampak ancang-ancang ngamuk lagi. "Bentar, Shei. Kasih gue kesempatan jelasin."

Sheila melepas paksa tautan jemari Kevin di perutnya, berbalik, lantas menatap tajam Kevin. "Pulang sana!"

"Gue mau jelasin dulu."

"Pulang, Vin." Sheila bangkit, hendak beranjak ke kamar, tetapi ia bergerak kalah cepat dari Kevin yang lebih gesit menarik lengannya. Menghempaskan Sheila ke sofa. Sheila mendesis samar, layangkan tatapan geram pada Kevin yang mengungkung tubuhnya. "Lo—"

"Shei, please?"

"Apalagi, sih?"

"Mau jelasin."

"Gak mau denger!"

"Harus mau."

"Gak usah maksa!"

"Gue cium, nih?"

Sheila melengos, lepaskan decakan. Tidak lagi berontak, memberikan lelaki itu kesempatan menjelaskan. Sejatinya sekarang Sheila degdegan, terngiang pengakuan Kevin barusan.

Lo calon gue ....

Begitu kata Kevin, 'kan?

The heck?!

Sheila tidak tahu harus merespons bagaimana. Senang? Tidak juga, rasa sangsi lebih besar ketimbang euforia. Takut Kevin mempermainkannya. Di titik ini, Sheila kesulitan membedakan saat Kevin serius dan bercanda. Sheila hilang kuasa meraba perasaan Kevin lewat mata, sebab di sana, pada dua manik cokelat yang pendarkan binar lembut itu, justru Sheila menemukan samar-samar keraguan. Apa yang sebenarnya mengusik benak Kevin?

Di sisi lain, Kevin bergerak turun dari atas tubuh Sheila, ganti jatuhkan dua lututnya di karpet. Kevin mendongak, kesepuluh jemari Sheila sudah ada dalam genggamannya. "Perasaan lo yang tiba-tiba berubah bikin gue jadi defensif. Gue seneng, tapi takut juga. Takut lo terpaksa, takut lo sekadar impulsif karena jealous gue enggak sepeduli sebelumnya. Jealous as friend. Gue menyangkal mati-matian yang lo bilang, selalu menyugesti diri kalau lo cuma bercanda, karena gue takut, Shei. Gue nggak mau luka karena ekspektasi yang gue bangun sendiri. Tapi tentang cincin itu, sejak awal emang buat kita, buat lo sama gue—go ask Kamila if you still doubting me. Atau tanya Bang Jeje, gih. Lo tau gue selalu diskusi dulu sama Bang Jeje sebelum ngambil keputusan."

[✓] Friends with BenefitsWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu