19. Gapapa, Iya.

2.1K 283 103
                                    

Jika sedang kalut, Kevin biasanya akan mendatangi Sheila, meleburkan segala kekhawatiran dan berisik di kepala dalam dekapan perempuan itu. Namun, lantaran sekarang Sheila adalah sumber kekalutannya, maka Kevin melampiaskan gundah pada drum. Kevin luapkan kekecewaan atas diri sendiri pada setiap pukulan yang menghantam instrumen musik tersebut. Hentakan nada yang tercipta jelas beritahu nelangsa dan amarah. Bisingnya saingi gaduh dalam kepala.

Kevin porak poranda karena ulah sendiri. Remuk redam akibat gagal menjaga hati. Ekspresi terluka Sheila tadi pagi terbayang-bayang, ciptakan bekas kelewat jelas di ingatan Kevin, luluh lantakkan kewarasannya. Lelaki itu tak lama langsung meninggalkan rumah sakit. Pergi dengan langkah gontai dan tampang linglung. Tanya Kamila sebelum dirinya pergi pun tak diindahkan. Di momen tersebut, tidak ada yang terpikirkan olehnya selain rasa sesal, selain dengung maaf yang tak henti-henti menggema di kepala.

Sementara itu di sudut studio, Jeje dan Joan setia memperhatikan, duduk di sofa sambil bersedekap dada dan pasang mimik datar. Mereka tidak tahu apa yang terjadi pada Kevin, tetapi jika sudah menggebuk drum dengan pukulan sarat amarah begitu, dipastikan Kevin tidak baik-baik saja. Jeje dan Joan tak mau menginterupsi, bakal menunggu hingga Kevin selesai atas kemauan sendiri. Sudah nyaris tiga jam Kevin memenuhi ruangan dengan bunyi pukulan drum, sebentar lagi pasti tumbang, jadi tunggu saja.

Benar saja, berselang lima belas menit kemudian Kevin hentikan kegiatannya. Kevin beranjak dari kursi, mengambil langkah menuju sofa, dan langsung menjatuhkan diri di sisi Jeje. Lelaki itu menyandarkan kepala pada sandaran sofa, menutupi mata dengan lengan, lalu lepaskan helaan napas panjang—sarat beban. Jeje dan Joan sesaat saling pandang sebelum yang lebih tua mengembalikan atensinya pada Kevin.

"Terakhir kali gue lihat lo kayak gini tuh empat tahun lalu, pas lo sama Arjuna lagi ada selisih paham soal Sheila—" Jeje melirik ke paha Kevin, kernyitan seketika muncul di dahinya saat mendapati buku-buku jari Kevin lecet. Oke, Jeje langsung paham jika situasi Kevin sekarang pasti kacau sekali. Sebab selama Jeje mengenal Kevin, jarang-jarang ia melihat sisi Kevin yang rapuh ini. "Mau cerita atau mau waktu sendiri, hm?" tawar Jeje.

Kevin bergeming, dan keterdiaman tersebut dianggap Jeje sebagai jawab atas opsi kedua. Maka Jeje menepuk paha Kevin, berikan pengertiannya, lantas menoleh pada sang adik dan mengedikkan dagu—mengode Joan untuk meninggalkan Kevin sendiri. Namun, baru setengah jalan kedua lelaki itu bangkit, Kevin bergumam,

"Gue nyakitin Sheila, Bang ...."

Otomatis berhenti pergerakan Jeje dan Joan, balik duduk dua lelaki itu ke posisi semula, siap mendengarkan.

Kevin menarik turun tangan ke sisi tubuh, ekspos wajahnya yang kusut masai. Tatapan Kevin kosong. Manik matanya kehilangan binar. Sambil menjadikan langit-langit ruangan sebagai titik fokus, Kevin kembali melepas suara lirihnya, "Gue bikin Sheila nangis." Terangkat tangannya demi usap air yang nyaris jatuh dari sudut mata. "Semesta yang harusnya gue jaga malah tangan gue sendiri yang menghancurkannya. Lo bener, Bang, pas lihat Sheila natap gue sarat kecewa, gue ikut hancur bareng dia."

Dengan hati-hati Jeje bertanya, "Lo ngapain sampai Sheila nangis gitu?"

"Dia tau gue ngebagi rasa."

"Si tolol," maki Joan, menggeleng tak habis pikir. "Gue bilang berhenti ya berhenti, bangsat! Serakah sih lo, mau dua-duanya, mampus sekarang Sheila pergi. Ya udah mending sama Kamila aja sana, Sheila biar sama Arjuna aja."

"Enggak, sumpah, enggak ...." Suara Kevin terdengar serak, dan ternyata dia sedang sekuat tenaga menahan isakan. Kevin kembali tutupi mata, menyembunyikan kerapuhan diri yang tersirat dari air matanya. Demi Tuhan, sesaknya minta ampun. "Gue cuma mau Sheila, tapi gue gak bisa gitu aja abai sama Kamila. Kamila ada di momen-momen hancur gue kemarin, Joan. Kamila ada di sana pas Sheila dorong gue ke titik terendah. Kamila ada di sana, menawari gue tempat berteduh pas Sheila ngasih gue hujan lebat. Kamila ...." Kevin tidak sanggup meneruskan, suaranya tertahan di tenggorokan, tak sungkan tunjukkan tangisan di hadapan Jeje dan Joan.

[✓] Friends with BenefitsWhere stories live. Discover now