4. Maaf

3.6K 335 32
                                    

Perihal keluarga, Sheila pernah lebih beruntung dari Kevin. Namun, kini mereka sama-sama malang. Orang tua tercerai-berai, rumah bukan tempat ternyaman lagi untuk pulang. Bunda Sheila di rumah sakit jiwa, berjuang melawan kesakitan psikis, sementara sang ayah alih-alih peduli justru malah kian terang-terangan unjuk kebejatan; mulai berani membawa jalangnya ke rumah. Oh, Sheila tidak sanggup membayangkan apa yang dua durjana itu lakukan di sana, di kamar ayah-bundanya. Sheila sungguh benci pada otak sendiri kala begitu mandiri menghadirkan reka adegan tidak senonoh mereka. Sakit, terlalu sakit.

Lain Sheila, lain lagi Kevin. Rasa sakit lelaki itu menjelma sederet foto yang ia temukan di beranda Instagramnya. Ayah dan bundanya terlihat bahagia dengan keluarga baru masing-masing. Luka di dada Kevin masih menganga, nyeri ditinggalkan masih berdenyut, tetapi tak satu pun dari kedua orang tuanya mau peduli. Terkadang Kevin bertanya-tanya, sayangkah mereka pada dirinya seperti pada anak-anak baru mereka? Jika iya, kenapa Bunda tak pernah lagi datang untuk berikan pelukan? Kenapa Ayah luput hubungi demi menanyakan kabar? Kenapa mereka seolah lupa bahwa punya putra bernama Kevin Bagaskara?

Semesta, kenapa begitu tega merajam dua jiwa hingga sedemikian porak poranda? Hingga luluh lantak seisi dada mereka menyaksikan keluarga yang tak bisa mereka gapai utuhnya?

"Di rumah enggak, A'?" Berdiri di balkon kamar Kevin, Sheila putuskan hubungi sang kakak sambil menatap hampa teras rumah sendiri yang sepi. Di sana, pada kursi yang tersedia, dulu pernah ada canda tawa empat manusia. Jantung Sheila mencelos hebat kala berderet-deret kenangan manis tersebut terputar di kepala.

"Enggak, La. Kenapa?"

"Aku kira A' Marka di rumah, soalnya ini ada mobil Sedan punya kamu."

"Mobil itu udah Aa' balikin ke ayah, dan kayaknya dikasihin ke jalangnya."

"Serius?" Sheila tak habis pikir.

Terdengar kekehan dari seberang sambungan. "Beneran, La. Goblok emang itu bajingan. Kamu udah tau muka jalangnya ayah belum, sih?"

"Belum, tapi pasti jelek."

"Emang jelek!" Marka tertawa. "Kamu kenapa ke rumah? Tumben banget?"

Sheila diam sesaat lantaran di bawah sana seseorang baru saja keluar dari rumahnya. "Kan, beneran jelek. Lebih jelek dari dugaanku, A'." Yup, Sheila sekarang tahu rupa selingkuhan sang ayah. Untuk penuturannya barusan, Marka membalas dengan tawa dan berkata bahwa secantik-cantiknya wanita, jika merusak hubungan orang, kecantikan tersebut tidaklah berguna. Sheila setuju. "Aku nginep di Kevin, A'." Lantas beranjak ke dalam, lama-lama melihat si jalang membuat mata Sheila sakit. "Jangan mulai deh, A'. Aku sama Kevin pure temenan. Kamu tau sendiri setrauma apa aku sama kelakuan ayah, jadi tolong berhenti bahas soal nikah."

"Maaf, La."

Nada serius yang tiba-tiba Marka perdengarkan menuai seulas senyum getir di bibir Sheila. Ia tahu kakaknya selalu merasa bersalah atas trauma yang Sheila punya, dan Sheila tidak suka dengan kenyataan tersebut.

"Udah dulu ya, A'. Aku mau sarapan."

"Yang banyak makannya, La."

"Kamu juga."

"Siap."

Sambungan lantas diputus oleh Sheila, dan keheningan sertmerta membelai pendengarannya. Sheila melempar punggung ke kasur, tidur terlentang sambil memejam. Kevin sendiri sudah lenyap eksistensinya sejak Sheila terbangun. Akan tetapi Sheila tak kelabakan mencari sebab mengingat samar-samar lelaki itu berpamitan untuk membeli sarapan. Bahkan sebelum pergi, Kevin sempat memakaikan piyama kepada Sheila. Udara pagi ini memang kelewat adem.

"Shei? Lo di dalem?"

Sheila menegakkan punggung, lantas bangkit demi membukakan Jamie pintu. "Masih pagi udah kelayapan. Mana jauh banget lagi. Sini masuk."

[✓] Friends with BenefitsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang