11. Dia Serius?

1.9K 296 60
                                    

Sudah lewat seminggu sejak Kevin meminta sedikit jarak dari Sheila, dan selama itu pula dirinya tak bertukar kabar dengan sang sahabat. Tidak Kevin dapati Sheila berkunjung ke rumah Joan, tidak ada pesan atau panggilan telepon, tak ada interaksi apa pun. Kevin lega Sheila menepati kata-katanya, tetapi Kevin juga luka dalam usahanya menghapus rasa cinta.

Segala tentang Sheila sudah melekat kuat di kepala Kevin. Komunikasi rutin lewat telepon dan pertemuan intens—kebiasaan dalam keseharian seperti itu kini lenyap, mencipta kekosongan besar di hidup Kevin. Tidak mudah, benar-benar membuat Kevin nestapa, tetapi beginilah cara untuk mengakhiri lara. Kevin tahu menunggu Sheila bak berenang di lautan luka, tak bertepi, ujung-ujungnya tenggelam dan mati. Maka sebelum betulan menapaki dasar lautan, Kevin mau mencari perahu lain.

Di ruang studio, jam satu dini hari, Kevin termenung seorang diri di sofa. Berkecamuk isi kepala dan dadanya. Sheila, Sheila, dan Sheila. Ingatannya sesak oleh satu nama. Belasan tahun mencinta, belasan tahun genggam satu rasa yang sama, Kevin tak tahu harus mulai dari mana melepaskan perasaan. Semua hal di sekitar Kevin meingatkannya pada perempuan itu. Di ruangan ini pun berseliweran kenangan tentang Sheila. Pada sofa yang tengah didudukinya, pada drum stik, pada pergelangan tangan—baru Kevin sadari segila itu ia mencintai.

"Kevin galau era kapan kelarnya, dah?"

Kevin terkekeh pelan, tak repot-repot  menoleh demi ketahui siapa si pemilik suara. Kevin biarkan tangan besar Jeje mengusak singkat puncak kepalanya sebelum jatuhkan diri di sampingnya.

"Bener gak sih gue ambil keputusan ini, Bang? Kok gue ngerasa remuk banget. Gue bingung harus mulai dari mana."

Jeje, adalah orang yang selalu Kevin datangi untuk segala urusan. Mulai dari hal-hal serius tentang pekerjaan hingga yang menyangkut perasaan. Karena ketimbang dengan Dito—kakak kandungnya—waktu Kevin lebih banyak berputar di sekitar Jeje, sehingga lelaki itu sudah dianggap abang sendiri. Seperti perihal Sheila, Kevin juga membicarakannya dulu bersama Jeje sebelum mengambil keputusan untuk menyerah. Jadi, di momen ini, mungkin Jeje-lah yang paling mengerti kekalutan Kevin.

"Lepasin sesuatu yang belasan tahun lo genggam jelas bakal bikin telapak tangan lo berdarah-darah. Wajar lo bingung, linglung, ngerasa kayak ini gak bener. Karena emang pasti aneh banget rasanya. Kayak ... kehilangan bagian penting dari diri sendiri. Tapi," Jeje sempatkan waktu untuk tepuk bahu Kevin, "sebuah kehilangan bakal kerasa biasa aja seiring berjalannya waktu. Mungkin butuh waktu lama buat lo untuk terbiasa temenan tanpa rasa sama Sheila, tapi segala hal ada batasnya, Vin. Bisa basi. Termasuk ketidaknyamanan dari kehilangan itu sendiri. Gapapa, nikmatin aja. Let it hurt, sampai rasa-rasanya lo mau mati saking sakitnya. Jalani, sampai akhirnya lo bakal ketemu fase ikhlas dan bisa let it go tanpa penyesalan."

Kevin menghela napas, Jeje tertawa kecil. Jeje yang jadi saksi hidup kisah tidak jelas Kevin dan Sheila selama nyaris sepuluh tahun jelas tahu bukan perkara gampang bagi Kevin untuk melepas tentang Sheila dan memulai kisah baru bersama perempuan lain.

"Lah?" Tiba-tiba kepala Joan terlihat menyembul di celah pintu, terkekeh singkat lelaki itu seraya melangkah masuk. Ia duduk di sisi lain Kevin, menendang pelan betis sohibnya.

"Baru balik dari rumah Gigi?" tanya Jeje seraya merogoh ponsel dari saku baju lantaran getar pertanda pesan masuk baru saja terasa, ternyata dari Arjuna yang pamitan mau pulang padahal tadi bilang akan menginap.

"Yoi," balas Joan.

"Abis minta jatah?" canda Kevin.

Joan nyengir.

"Lah beneran?" Kevin terkekeh. "Si bangsat. No sex before marriage apaan," ledek lelaki itu yang ingat betul bagaimana Joan menasehati panjang-lebar saat Kevin bercerita perihal dirinya dan Sheila yang melakukan seks untuk kali pertama. Apa pun makanannya, minumnya memang paling ajib ludah sendiri.

[✓] Friends with BenefitsWhere stories live. Discover now