Part 38

41 5 0
                                    

Sepulang sekolah, Luna lantas pergi bersama Daniel ke suatu tempat. Kata Daniel ia ingin mengajak gadis itu bertemu dengan teman-temannya.

Memang, bersosialisasi dengan banyak orang bukanlah keahlian yang Luna miliki. Namun, setidaknya saat bertemu dengan orang baru pikiran Luna tentang perselingkuhan Ayahnya sedikit teralihkan. Apalagi kini Bella juga sibuk melakukan pendekatan pada Joano, jadi intensitas Luna bertemu Joano sedikit berkurang.

Seperti hari ini, begitu bel pulang sekolah berbunyi kedua teman dekat Joano beserta Bella langsung pergi entah kemana. Biasanya meski Luna dan Joano bertengkar, mereka tetap berangkat dan pulang bersama.

Pengecualian tentang tadi pagi, Luna berangkat sekolah lebih dulu bukan karena keinginannya, melainkan keinginan Bella. Gadis itu mengirim pesan pada Luna dan mengatakan bahwa ia ingin berangkat bersama Joano. Tapi, begitu sampai di sekolah Luna justru melihat Bella sudah duduk cantik di tempatnya. Sungguh, Luna dibuat kesal karenanya. Apalagi Bella hanya memberi alasan pada Luna kalau ia tidak jadi berangkat bersama Joano karena jalanan macet dan ia lupa mengabari.

Luna mendengus, meski kejadian itu sudah lewat berjam-jam yang lalu, tapi kekesalan yang ia rasakan masih terasa seperti baru terjadi beberapa detik yang lalu.

"Luna, ayo masuk."

Suara itu membuyarkan lamunan Luna.

Luna tersentak, ia baru menyadari jika dirinya dan Daniel sudah sampai ke tempat tujuan. Itu adalah bangunan ruko berlantai empat yang disulap menjadi studio musik.

Daniel menarik pintu, mempersilahkan Luna untuk masuk terlebih dahulu.
Begitu masuk ke dalam, Luna dibuat takjub dengan isi studio yang nampak rapi dan nyaman. Apalagi dengan gaya interior modern, membuat siapa saja betah berlama-lama di situ. Selain tempatnya yang nyaman, di sana juga terdapat peralatan musik yang cukup lengkap, ada piano, drum, gitar dan alat musik lainnya.

"Jadi ini tempat latihan lo nge-band, Niel?" Tanya Luna. Jari telunjuknya mengusap-usap badan piano yang nampak bersih mengkilap.

"Iya, Lun. Tempat ini jadi saksi gimana susah payahnya gue dan anak-anak nyiptain lagu sendiri, aransemen dan lain-lain. Gimana? Tempatnya enak kan?"

Luna mengangguk semangat sambil meletakkan tubuhnya di bangku depan piano. "Gue salut sama lo. Selain pinter, lo juga tahu cara menikmati hidup."

Daniel tersenyum simpul. "Bisa aja lo merendahnya. Kan lo yang sering juara satu sama ikut lomba-lomba. Lo lebih jago kali."

"Tapi gue nggak semenikmati hidup juga kayak lo. Gue tahunya cuma belajar dan belajar, gue bahkan nggak tahu hobi gue apa." Luna menunduk, ia tidak bisa menahan sedih saat mengatakan bahwa ia tidak tahu apa hobinya. Beberapa detik kemudian ia berusaha untuk mengontrol perasaannya. Ia tidak ingin Daniel tahu alasan mengapa tiba-tiba ia bersedih.

"Serius? Emang nggak ada sesuatu yang bikin lo happy gitu?" Daniel membuka mini kulkas yang ada di sudut ruangan, mengambil satu buah kaleng soda, membuka pengaitnya kemudian memberikannya pada Luna.

"Nggak kepikiran aja apa yang bikin gue seneng. Gue tahunya cuma belajar." Ucap Luna lalu tersenyum lebar di akhir kalimatnya.

Daniel duduk di kursi seberang Luna. "Emang kenapa lo belajar segitunya? Sampe nggak tahu apa hobi lo sendiri."

Luna diam sebentar. Rasanya tidak mungkin ia tiba-tiba menceritakan semuanya pada Daniel. Mereka belum sedeket itu sampai Daniel tahu apa masalahnya. "Mau ngumpulin piala. Haha."

Daniel ikut tertawa. "Mau getok orang pake piala? Sampe di kumpulin segala."

"Bisa juga tuh idenya." Sambung Luna.

Mereka kembali tertawa.

"Oh ya. Di band lo bagian apa?" Tanya Luna mengganti topik pembicaraan.

Daniel mengambil gitar di sampingnya lalu menaruh benda itu di pangkuannya. "Gue vokal. Gue juga bisa alat musik, nggak jago banget sih tapi kalo dasar-dasarnya gue bisalah."

"Coba dong nyanyi sambil main gitarnya." Pinta Luna antusias.

"Mau lagu apa?"

"Apa aja."

Daniel melakukan ancang-ancang kemudian mulai memetik senar gitarnya dengan indah. Daniel menyanyikan lagu The City dari Ed Sheeran.

Luna menikmati lagu yang Daniel bawakan, sesekali ia ikut menyanyi sambil bertepuk tangan ria hingga lagu itu selesai dinyanyikan.

"Gue nggak nyangka suara lo keren juga." Puji Luna.

Pipi Daniel memerah, ia menahan malu mendengar pujian dari gadis yang ia suka.

"Kenapa lo nggak pernah perform di sekolah? Acara perpisahan misalnya."

Daniel meletakkan gitarnya kembali ke tempat semula. "Kami dari sekolah yang beda-beda, jadi susah untuk atur jadwalnya. Biar adil lebih baik sekalian nggak usah tampil di sekolah, selain itu-"

Daniel menghentikan ucapannya sebentar kemudian melanjutkan, "bokap nggak izinin gue nge-band. Jadi, mustahil banget buat tampil di sekolah."

"Kalau tampil di sekolah kan bokap lo nggak tahu." Tanya Luna lagi.

Daniel tersenyum tipis. "Lo pasti belum denger ya."

Dahi Luna berkerut, ia tak mengerti apa maksud perkataan lelaki itu.

"Bokap gue kan pemilik yayasan." Lanjut Daniel. "Mustahil gue manggung di sekolah."

Luna tersentak, makin kagum dengan Daniel. "Gue nggak nyangka ternyata lo anak pemilik yayasan."

"Kenapa nggak nyangka? Gue kelihatan ugal-ugalan ya."

Luna mengibaskan tangannya. "Bukan gitu. Maksud gue kok lo bisa sesempurna itu sih. Lo cakep, tajir, pinter, populer, jago nyanyi lagi. Udah kayak karakter fiksi aja."

Daniel tersenyum lagi. "Trus kenapa lo nggak nerima gue?"

Luna terbatuk-batuk seketika. Wajahnya nampak bingung saat mendapat pertanyaan menohok dari Daniel.

"Bercanda kok. Perasaan kan nggak bisa dibohongin. Nggak bisa dipaksa hanya karena menurut lo-gue sempurna."

Luna tersenyum canggung. Ia tidak tahu harus menanggapi Daniel dengan perkataan apapun lagi.

***

Sunda Manda [COMPLETED]Where stories live. Discover now