Part 2

163 4 0
                                    

Kamu nurut apa kata Ayah dan Ibu baru kamu, ya. Jangan nakal. Jadilah anak yang bisa membanggakan keluarga." Pengurus panti itu berkata pada Joano dengan mata berkaca-kaca. Joano tahu jika kalimat template itu pasti akan keluar dari mulut pengurus panti, tapi anak laki-laki itu tidak menyangka jika pengurus panti akan menatapnya penuh haru seperti itu. Joano jadi bisa membayangkan bagaimana perasaan si pengurus panti setiap menyerahkan anak-anak ke orang tua baru mereka, perasaan campur aduk itu benar-benar tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Joano menganggukkan kepalanya. "Iya, Ibu. Joano akan jadi anak yang baik dan juga penurut."

"Saya, akan menjaga Joano sebaik mungkin, Bu. Jangan khawatir." Lelaki berkumis tipis itu maju satu langkah lalu mengulurkan tangannya kepada Joano.

Pengurus panti menganggukkan kepalanya, ia percaya penuh kalau lelaki itu akan merawat Joano selayaknya anak sendiri seperti para orang tua lainnya yang mengadopsi anak-anak dari panti asuhan ini.

"Kalau begitu saya permisi, Bu. Semoga kita bertemu lagi di lain kesempatan yang lebih baik." Imbuh lelaki itu. Sekali lagi ia tersenyum tipis kepada pengurus panti sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil dan melajukan kendaraannya.

Sementara itu, melalui jendela mobil Joano menatap sedih pengurus panti, juga pada bangunan yang telah menyimpan banyak kenangan tentang dirinya. Joano sungguh berharap suatu hari bisa berkunjung ke tempat itu dengan keadaan yang lebih baik.


***

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 3 jam, mereka akhirnya sampai ke tempat tujuan. Di belakang lelaki yang kini menjadi ayah angkatnya, Joano berjalan memasuki sebuah rumah tua. Meski terlihat kuno, rumah tua itu justru menawarkan estetika khas yang tidak dimiliki bangun rumah modern masa kini.

Selagi menunggu lelaki itu naik ke lantai dua, Joano memandang figura-figura yang menempel di dinding rumah yang di dominasi warna cokelat dan abu-abu. Gambar-gambar di sana seperti menceritakan kehidupan sang pemilik dari masa muda hingga masa kini.
Dan dari tempatnya berdiri saat ini, samar-samar Joano mendengar perdebatan antara laki-laki dan perempuan. Sesekali si perempuan berteriak, lalu diikuti oleh suara pintu yang terbanting cukup keras. Bulu kuduk Joano berdiri, raut cemas dan takut tampak sekali di wajahnya. Joano mencengkeram ujung bajunya di tengah situasi yang menegangkan itu.


***


"Sudah gue bilang adopsi remaja! Bukan bocah yang baru lahir kemarin!" Margaret berteriak sambil menggebrak meja. Raut wajah wanita itu penuh amarah setelah mengetahui suaminya tidak melakukan pekerjaannya dengan baik.

"Enggak ada bocah lain selain dia. Sisanya masih pada kecil-kecil." Tio, lelaki yang sudah lima tahun dinikahi Margaret itu berusaha membela diri saat wanita itu menyalahkannya. Apapun yang Tio lakukan selalu saja salah di mata Margaret, selalu saja tidak bisa memuaskan hati wanita itu.

Bola mata Margaret semakin membulat sempurna mendengar alasan Tio, wajahnya semakin merah padam. "Emangnya enggak ada panti yang lain?!"

Tio diam sejenak sebelum akhirnya menjawab. "Lo nggak bilang, sih."

Margaret menghela napas kasar, suaminya itu memang tidak berguna. Sebutannya saja menikah tapi keduanya tidak ada kecocokan sama sekali. Mereka seperti menikah di atas dokumen, selebihnya hubungan mereka hanya seperti seorang nyonya dan pesuruh. Memang dulu Margaret mencintai lelaki itu dan bahkan sampai sekarang, akan tetapi semua kekuasaan rumah tangga mereka sepenuhnya dipegang oleh Margaret, itu karena Margaret merasa Tio tidak bisa diandalkan.

"Bisa-bisanya gue dulu mau nikah sama lo! Nggak ada keuntungannya sama sekali! Kerjaannya cuma nongkrong sama ngerokok doang, disuruh melayani pelanggan nggak mau, dikasih saran adopsi anak malah nyari yang nggak berguna! Bisanya apa sih, lo!"

Tio terdiam, menundukkan kepalanya. Meski raut wajahnya menampilkan rasa bersalah, namun sebenarnya perkataan Margaret hanyalah angin lalu baginya.

Margaret adalah seorang pemilik kafe yang memiliki beberapa cabang di Bandung, kafenya bisa dibilang rame, apalagi saat akhir pekan. Oleh karena itu, Margaret membutuhkan pegawai paruh waktu yang bisa di gaji rendah. Namun, akhir-akhir ini para pegawai paruh waktu yang bekerja di tempatnya beramai-ramai berhenti karena mereka tidak tahan dengan lingkungan kerja dan upah yang rendah.

Berita mengenai lingkungan kerja yang tidak sehat dan upah yang rendah cepat tersebar di kalangan para pencari kerja, oleh sebab itu banyak para pencari kerja yang tidak ingin melamar posisi apa pun di tempat usahanya.

Sementara itu, Tio yang memegang cabang sering mengeluh karena ia harus ikut melayani pelanggan, padahal posisinya di sana adalah seorang kepala kafe. Menurut Tio, tidak seharusnya seorang kepala kafe ikut memberikan service karena pekerjaannya sendiri sudah banyak. Lelaki itu akhirnya meminta Margaret untuk mencari pekerja paruh waktu lagi.

Margaret, selaku nyonya yang mencintai suami yang menurutnya tidak berguna itu akhirnya menyuruh Tio untuk mengadopsi anak dari panti asuhan supaya bisa dipekerjakan tanpa upah dengan dalih membantu orang tua.

Dan lagi-lagi Margaret dibuat meradang karena melihat hasil kerja Tio yang tidak bisa diandalkan. Margaret menyuruh Tio untuk mengadopsi remaja yang bisa diajak bekerja, akan tetapi lelaki itu malah membawa pulang seorang bocah yang bahkan membersihkan ingusnya saja belum tentu bisa.

Margaret membanting gelas yang ada di hadapannya. Kedua matanya melirik tajam ke arah Tio yang kini tengah menundukkan kepala. Sekali lagi Margaret bergumam sebal, "Dasar tidak berguna!" Wanita itu kemudian berlalu dari hadapan Tio dan keluar dari ruangan.


***

Sunda Manda [COMPLETED]Where stories live. Discover now