Part 33

55 5 0
                                    

Joano duduk di samping ranjang Luna sambil menatap wajah gadis itu terbaring lemah di ruang rawat inap. Selang infus sudah tertancap rapi di punggung tangan Luna. Sudah lima belas menit berlalu sejak Luna dilarikan ke rumah sakit namun ia tak kunjung sadarkan diri.

Jemari Joano bergerak menggenggam sebelah tangan gadis itu, ia menunduk. Rasa sesal memenuhi benak Joano karena tidak memeriksa keberadaan Luna sedari pagi. Jika saja ia mengetuk pintu Luna lebih awal, mungkin gadis itu tidak akan terbaring di tempat ini.

Sebenarnya Dokter sudah mengatakan jika tidak ada masalah yang serius dengan Luna. Kadar gula darah gadis itu rendah akibat belum makan seharian juga terlalu banyak pikiran, makanya ia sampai tak sadarkan diri. Meski begitu, Joano tetap khawatir. Selama bertahun-tahun Joano tidak pernah melihat Luna pingsan karena belum makan ataupun terlalu banyak pikiran, karena itu ia sangat cemas saat Luna tiba-tiba tumbang di hadapannya.

"Jo~"

Joano segera mendongakkan kepala begitu mendengar lirihan suara Luna.

"Luna, lo udah nggak papa? Kenapa lo nggak bilang sih kalo lo lagi ada masalah? Dokter bilang gula darah lo turun karena lo belom makan seharian. Katanya juga lo terlalu banyak pikiran. Kenapa lo nggak bilang sih? Gimana tadi kalo gue nggak dateng. Lo bisa nggak sih kalo dihubungi orang tu dijawab. Bikin orang khawatir aja." Omel Joano panjang pendek.

Luna hanya tersenyum tipis, jika jadi Joano ia juga akan melakukan hal yang sama. Mengomel panjang lebar karena membuat orang khawatir.

"Hp gue mati, lupa ngecharge." Tukas Luna. "Gue tidur seharian makanya gue nggak ngabarin lo."

"Beneran lo udah nggak papa?" Tanya Joano memastikan.

Luna kembali tersenyum. Sebenarnya ia tidak baik-baik saja, ia terluka karena perselingkuhan Ayahnya, ia terluka karena ibunya dikhianati, ia juga terluka karena harapannya untuk mempunyai keluarga harmonis telah pupus.

Luna ingin menceritakan semuanya pada Joano dan menangis di hadapan lelaki itu. Namun, saat mengingat kejadian semalam dimana Joano dan Bella berciuman membuat Luna mengurungkan niatnya. Luna merasa hubungannya dengan Joano kini seperti ada pembatas yang tidak bisa lagi ia terobos seenaknya. Luna menghargai Bella juga Joano, karena itu sedikit lebih mundur dari pembatas itu adalah pilihan terbaik yang bisa ia ambil.

"Iya nggak papa. Dokternya aja lebay, masa belum makan seharian yang bikin aku pingsan sih. Lagian nggak seharian juga. Sekarang aja masih sore." Jawab Luna asal.

"Luna, lo tu kalo dibilangin nurut apa. Mana ada Dokter bilangnya asal-asalan. Kalo bukan karena itu lo nggak mungkin tiba-tiba pingsan. Masih mau nyangkal lagi?"

Luna meringis. Bukan hanya Joano yang kesal dengan perkataannya, bahkan dirinya sendiri juga kesal dengan perkataannya, tapi mau bagaimana lagi? Tidak mungkin kan Luna memberikan tahu Joano yang sebenarnya padahal ia tahu apa yang seharusnya ia lakukan?

"Iya, iya. Bawel banget. Oh ya, Jo. Ngomongin masalah makanan, perut gue tiba-tiba laper."

"Mau makan apa?"

Luna berpikir sejenak. "Apa ajalah yang enak."

"Oke."

Baru beberapa langkah Joano berjalan, Luna kembali memanggil lelaki itu.
"Jo."

Joano menoleh. "Iya."

"Mau duduk." Kata Luna. Berbaring di ranjang seharian hanya membuat gadis itu bertambah pusing. Lagi pula ia masih menggunakan selang infus, jadi Luna merasa itu tidak masalah.

Joano mengerutkan dahi. "Emang nggak papa? Kalo masing pusing tiduran aja." Saran Joano.

"Udah nggak papa." Ucap Luna yakin.

Sunda Manda [COMPLETED]Where stories live. Discover now