Part 21

49 4 0
                                    

"Kamu sama Joano beneran cuma teman?"

Pertanyaan Bella sekali lagi melintas ke indera pendengaran Luna. Gadis itu menelan ludah dengan susah payah, padahal saat mereka makan bersama di warung dekat sekolah Luna sudah meyakinkan dirinya bahwa tidak apa-apa jika Bella menyukai sahabatnya, bahkan ia mendukungnya tapi perasaan aneh tiba-tiba menyergapnya. Rasanya ia tidak rela.

Joano bukan barang yang bisa ia tahan saat seseorang mencoba untuk memilikinya, bukan juga barang yang bisa direbut saat ia tidak rela. Joano punya hak atas perasaannya, punya hak atas dirinya, lantas apa yang membuat Luna merasa keberatan?

Apakah karena saat ini ia butuh sandaran makanya ia tidak rela? Lalu mengapa saat itu ia baik-baik saja saat Bella menunjukkan ketertarikannya pada Joano? Apa karena saat itu ada Daniel dan Bianca makanya ia baik-baik saja saat temannya diperhatikan oleh orang lain? Lantas jika saja Daniel dan Bianca tiba-tiba muncul di hadapan mereka apa Luna akan baik-baik saja? Rasanya tidak, Luna tetap tidak rela.

Apa mungkin karena saat itu perasaannya sedang gembira makanya ia tidak keberatan? Dan apa karena saat ini ia sedang tidak baik-baik saja makanya ia merasa terluka? Sungguh karena itu?

Pertanyaan-pertanyaan sekaligus kekhawatiran itu memenuhi benak Luna, rasanya ia terlalu berlebihan untuk mengambil kesimpulan padahal Bella hanya menanyakan apakah mereka cuma teman, tapi bukankah karena pertanyaan itu diajukan makanya Luna langsung berpikiran sampai sejauh itu?

"Luna kamu nggak papa?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Bella saat melihat Luna larut dalam pikirannya.

Luna tersentak. "Sorry, Bella. Gue malah kepikiran hal lain. Tadi gimana?"

Bella tersenyum manis lalu kembali mengulang pertanyaannya. "Kamu sama Joano beneran cuma teman?"

"Iyalah, cuma teman," Jawab Luna diiringi senyum kaku, untung Bella tidak menyadarinya. "Kenapa emangnya? Kok lo tiba-tiba nanya gitu?"

"Soalnya kalian kelihatan deket banget."

"Iya, soalnya kita temenan dari kecil, tetanggaan lagi." Kata Luna lagi masih dengan senyum kaku di wajahnya.

"Luna." Bella tiba-tiba memasang wajah serius.

"Iya." Luna menatap Bella dalam-dalam, entah mengapa ada sesuatu yang mengganjal hatinya, tidak biasanya ia seperti ini. Perasaan gelisah seketika menyerang batinnya.

"Mau nggak kamu bantu aku biar bisa lebih deket sama Joano?"

Tenggorokan Luna mendadak mengering, bahkan saat ingin menelan ludah saja ia merasa kesakitan. Perkataan Bella seperti bom waktu baginya.

"Sebenernya aku udah suka sama Joano pas hari pertama sekolah, tapi karena aku nggak tahu gimana caranya biar bisa deket sama dia jadi minta tolong sama kamu, soalnya aku lihat-lihat kalian deket banget."

Melihat gelagatnya Luna tahu jika Bella menyukai Joano tapi ia tidak mengira kalau gadis itu akan meminta bantuan langsung pada dirinya.

"Gimana, Lun? Mau nggak?"

Kalau Luna menjawab tidak mau apa Bella akan berhenti menyukai Joano? Tidak, bukan? Yang ada dirinya hanya akan dipandang egois dan tidak berperasaan, masa iya ia tidak ingin melihat sahabatnya bahagia. Meski sebenarnya tidak rela, Luna harus pura-pura bahwa ia baik-baik saja.

Meski hatinya mengganjal sampai rasanya Luna ingin menangis tapi ia harus tersenyum di hadapan Bella. Ia tidak ingin dipandang kasihan hanya karena perasaannya yang tidak pasti. "Iya, Bel. Gue bakal bantu sebisanya."

Mendengar persetujuan Luna, Bella akhirnya menghela napas lega.

"Makasih ya Luna."

"Iya." Jawab Luna diiringi senyum getir.

Selain pintar dan mudah bergaul Joano juga mempunyai wajah rupawan, jadi tak mengherankan kalau banyak perempuan mencoba untuk mendekatinya, termasuk Bella. Gadis itu bahkan langsung jatuh hati di hari pertama masuk sekolah.

"Sorry ya, agak lama. Toiletnya tadi dibersihin sebentar." Kata Joano sembari menarik kursi yang ada di samping Luna.

"Nggak lama-lama banget kok, kopi yang kamu pesen juga belum dateng." Tukas Bella yang sepanjang ucapannya selalu diiringi senyum manis di bibirnya.

"Oh ya, lo sering ke sini sendiri, Bel?" Tanya Joano membuka obrolan.

"Nggak sering juga, sih, kadang-kadang. Enak tahu pergi ke coffee shop sendiri." Bella nampak antusias saat Joano bertanya mengenai dirinya, pertanyaan basa-basi memang, tapi bukankah berawal dari pertanyaan seperti itu hubungan seseorang bisa menjadi lebih dekat? Ya, ini baru permulaan.

Beberapa saat Luna merasa iri pada Bella, bukan hanya cantik secara fisik tapi gadis itu juga mudah bergaul seperti Joano, apalagi tutur katanya yang lembut dan halus bisa membuat siapa saja tersihir akan pesonanya.

Hampir dua jam telah berlalu dan kopi yang mereka pesan juga sudah tak bersisa, namun topik pembicaraan Joano dan Bella tak kunjung ada habisnya. Mereka asik mengobrol ini dan itu, membicarakan tentang masa sekolah Bella sebelum pindah bahkan mengenai cinta pertama gadis itu.

Joano menyimak dan memberi respon sesuai apa yang Bella inginkan, saking terlenanya bahkan mereka tidak sadar akan keberadaan Luna yang mulai terabaikan.

Terkadang Luna merasa kesal dengan dirinya sendiri yang tidak bisa luwes bersosialisasi dengan orang lain, ia hanya bisa berbicara banyak di hadapan orang-orang yang sudah lama mengenalnya, namun akan menjadi pendiam jika berhadapan dengan orang yang baru dikenalnya atau bahkan yang tak sejalan dengannya.

Tapi siapa yang peduli dengan kepribadiannya? Dalam pergaulan orang akan menuntut respon terbaik yang bisa diberikan. Orang tidak akan peduli energimu habis atau tidak, jika terus-terusan tenggelam dalam diam maka ia akan dilupakan, hal itu seolah sudah menjadi hukum alam yang tidak bisa ditawar.

Sunda Manda [COMPLETED]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora