Part 16

85 3 0
                                    

Maria, berusaha untuk mencerna semua kalimat yang Luna lontarkan padanya. Ia ingin memastikan bahwa pendengarannya masih berfungsi dengan baik.

Saya ingin mengundurkan diri dari perlombaan selanjutnya, Bu. Saya lelah, ingin istirahat saja. Saya ingin fokus persiapan ujian nasional.

Begitulah ucapan Luna yang membuat dada Maria seperti tertusuk pisau bertubi-tubi. Luna adalah siswa kebanggaan sekolah, lebih dari setengah perlombaan yang diikuti gadis itu selalu menorehkan gelar juara, entah satu, dua atau tiga. Oleh karena itu, pihak sekolah selalu menjadikan Luna sebagai kandidat kuat.

"Kamu yakin mau mengundurkan diri di lomba ini?" Tanya Maria memastikan. Ia tidak ingin Luna membuat keputusan gegabah.

"Sangat yakin, Bu."

Maria menarik napas lalu menghembuskannya dengan susah payah. "Kalau kamu maunya begini, saya bisa apa. Itu hak kamu, selama ini juga kamu sudah melakukan yang terbaik. Kamu sudah kelas dua belas, tentu saja ujian nasional lebih penting. Baiklah, Luna, kamu boleh kembali ke kelas."

"Terima kasih pengertiannya, Bu." Luna segera keluar dari ruang guru setelah pamit pada Maria.

"Gimana?" Bianca yang entah sejak kapan berdiri di depan pintu ruang guru langsung mengintrogasi Luna dengan pertanyaan pendek.

"Tentu aja boleh." Ucap Luna tersenyum lega.

Bianca merangkul pundak Luna sambil berjalan beriringan. "Selamat ya Lun, akhirnya lo sedikit lega buat nggak terlalu ngoyo belajar."

"Tapi kan masih ada UN, sama aja. Kenceng juga belajarnya."

"Iya, tapi konsentrasi lo nggak kebelah."

"Eh, mumpung lagi kosong. Mau nggak kalau lo yang gantiin gue."
Satu pukulan mendarat di bahu Luna.

"Lo nyadar nggak sih kalau lo lagi ngehina gue secara halus." Tukas Bianca melirik Luna sebal. "Lo tahu otak gue kagak encer kayak lo. Bisa-bisanya nyuruh gue gantiin lo."

"Yah, kali aja lo tiba-tiba dapet keajaiban, kan?"

Bianca tersenyum kaku, seolah sedang dibuat-buat. "Ya nggak matematika juga. Makasih. Betewe, ke kantin, yuk, laper gue."

"Cus, gue juga laper."

Begitu menginjakkan kaki di kantin, Luna dan Bianca langsung disambut dengan kerusuhan orang-orang yang menamai diri mereka sebagai tiga sekawan; Joano, Mike dan Alfian.

Kerusuhan disebabkan hanya untuk menentukan siapa yang akan membayar makan siang mereka, alhasil permainan abc lima dasar dipilih untuk memutuskan siapa yang mengeluarkan uang.

Sambil duduk di bangku tak jauh dari tempat mereka berada, Luna hanya menggeleng tak percaya. Mereka lebih kekanak-kanakkan dari pada anak-anak. Padahal tiga orang tersebut termasuk golongan orang berada yang sanggup membayar makanan mereka sendiri, akan tetapi ketiganya justru memilih jalan yang lebih sulit, atau memang sudah menjadi sifat alami manusia yang berpegang teguh pada istilah kalau ada yang gratis kenapa harus bayar? Entahlah.

Ah, Luna memang kaku untuk urusan pertemanan. Ini bukan tentang mendapatkan makanan gratis atau tidak mau mengeluarkan uang, terkadang untuk menjalani hidup yang tidak monoton perlu melakukan hal yang seru untuk memutuskan sesuatu, termasuk bermain abc lima dasar untuk menentukan siapa yang membayar makanan.

Padahal Luna sendiri juga sering melakukan hal konyol bersama Joano, akan tetapi ia terkadang merasa asing saat Joano melakukan hal serupa bersama orang lain, begitu juga untuk dirinya, merasa aneh apabila melakukan hal konyol kalau tidak bersama Joano.

Bodoh, tidak seharusnya, kan, Luna bersikap seperti itu. Biar bagaimanapun Joano punya kehidupannya sendiri, begitu juga dirinya. Ya, mereka memang tumbuh bersama sedari mereka kecil, mereka berjanji untuk selalu berpegangan tangan apapun yang terjadi, tapi bukan berarti mereka membatasi satu sama lain untuk bersosialisasi dengan manusia lain, kan?

Sunda Manda [COMPLETED]Where stories live. Discover now