1 (Argo Siji Jovetic)

6K 252 34
                                    

Pria dewasa yang memasuki usia telah matang menikah tengah sibuk dengan dokumen kantor. Suara deritan pintu mengalihkan perhatian dia.

"Kau menolak lagi, nak?" tanya Stevan lembut.

"Hm," gumam Argo.

"Kau semakin tidak tersentuh semenjak kehilangan kedua adikmu," ujar Stevan.

Argo Sini Jovetic pria dewasa yang telah berusia 35 tahun itu hanya diam saja. Di depannya ada sang ayah bernama Stevan Kabar Jovetic pria paruh baya yang telah pensiun dari kepemimpinan karena telah digantikan sang anak. Stevan berumur 58 tahun masih nampak gagah walaupun ada sedikit guratan keriput.

"Papa paham kau sedih kehilangan mereka berdua. Apalagi papa dan mama yang sangat terpukul atas itu semua. Ditambah kedua adikmu meninggal hanya beda dua bulan saja," ujar Stevan.

Stevan melirik kearah anaknya yang hanya diam. Stevan menghela nafas kasar akan respon sang anak. Stevan mendekat lantas mengelus rambut Argo sebelum pergi.

Kepergian Stevan ditatap dalam diam oleh Argo. Pria dewasa seolah telah beku perasaannya setelah kedua adiknya pergi.

Pria itu mengambil figuran dimana ada sosok kedua adiknya tengah tersenyum gembira. Itu foto terakhir mereka sebelum kejadian naas itu terjadi.

"Abang harap bisa bertemu kalian lagi. Abang merindukan segalanya tentang kalian," lirih Argo.

Argo memutar kursi yang dia duduki. Argo memeluk sangat erat sebuah figuran foto kedua adiknya. Argo seolah mengharapkan bahwa kedua adiknya ada di peluk dia saat ini.

"Kalian tidak mengajak abang pergi," lirih Argo.

Pria itu menangis dalam diam. Bahunya bergetar hebat. Dia tidak kuat apabila mengingat kenangan indahnya bersama kedua adiknya. Argo tidak mau kedua adiknya pergi mendahului dirinya. Harusnya mereka yang melihat kepergian dirinya bukan sebaliknya.

"Adek bayi abang juga dan yang paling manja." Argo menghapus kasar air matanya yang terus mengalir. "Kematian kalian sangat mendadak. Abang padahal telah menyiapkan kado ulang tahun untuk kalian."

"Kadonya belum kalian buka lho. Kenapa malah pergi?"

"Abang harap ini mimpi ternyata bukan."

"Bahkan sudah sebelas tahun kalian pergi."

"Abang tidak bisa merelakan kepergian kalian."

"Kehadiran kalian membuat rasa lelahku menguap."

"Sejak kalian pergi tidak ada yang menghibur abang."

"Izinkan abang bergabung dengan kalian."

"Dek tolong lepaskan rasa sesak ini. Akibat kehilangan kalian," lirih Argo memukul dadanya sangat kuat.

Dibalik pintu ada sosok kedua orangtuanya Argo. Mereka hanya diam mendengarkan suara dari putra sulungnya. Segala cara telah dilakukan agar Argo tidak terlarut dalam kesedihan, tapi tidak membuahkan hasil.

"Kita harus membawa Argo ke psikiater agar dia pulih," ujar Steven.

"Aku juga mau seperti itu. Tapi aku tidak tega, sayang," ujar Lusi.

"Aku akan memikirkan cara lain," ujar Steven.

Steven tidak mau melihat istrinya kembali sedih. Kepergian kedua putranya merubah segala hal. Argo bahkan jarang pulang ke rumah. Putra sulungnya lebih memilih menjadi penggila kerja dibandingkan memilih pasangan hidup. Steven dan Lusi khawatir apabila mereka tiada secara mendadak. Argo perlu didampingin agar dia tidak terlalu fokus kerja dan melupakan segala hal.

Save My Brothers Où les histoires vivent. Découvrez maintenant