23. Stevano or Rendy?

Start from the beginning
                                    

Kening Vano berkerut. Alis tebalnya saling bertautan. Guratan-guratan sebal terpampang jelas di dahinya, Rendy sepertinya berhasil membangunkan amarah Vano. "Apa kata-katamu cocok untuk statusmu sebagai Dokter? Hah?" Serang Vano yang langsung melabrak Rendy dengan mendorong tubuh pemuda itu menjauh sekaligus dengan sengaja melepaskan genggaman tangan Rendy dari tanganku.

"Pengecut! Sudah berani melukai hati seorang gadis sekarang malah ingin adu otot! Payah!" Tangan Vano semakin terkepal mendengar remehan dari ucapan Rendy barusan. Aku tau apa yang akan terjadi selanjutnya, maka aku segera ambil langkah melerai mereka dengan berdiri ditengah-tengah keduanya.

"Oke, stop!" Cegahku berusaha menahan tubuh atletis Vano yang mulai menegang menahan amarah dengan sorot mata yang ingin membungkam mulut Rendy dengan tangan kekarnya yang terkepal itu.

"Kenapa kamu selalu membela pemuda tidak bertanggung jawab ini, Narra? Menyerahlah! Hatimu bukan batu yang sama kerasnya dengan pola pikir bocah ini!" Amuk Rendy menunjuk wajah Vano dengan telunjuk tangan kanannya.

Melihat itu semua membuat Vano semakin mengamuk, ia hampir mendorong tubuhku yang menghalanginya kalau saja Rendy tak mencegah agar aku tidak jatuh terjungkal ke aspal. Jalanan ini terus menjadi perhatian bagi orang-orang yang bertengger dikendaraannya saat melintas. Malu sudah aku nomor duakan, aku hanya ingin permasalahan ini selesai dengan kepala dingin dan bukan pertengkaran! Kenapa laki-laki hanya mementingkan egonya saja...

"Oke. Sekali lagi berhenti." Jeritanku berhasil membuat amarah di keduanya sedikit meredam. Aku menghela nafas berat dan mengusap air mata yang sempat jatuh dengan kasar. Perlahan ku dekati Rendy, mengusap lembut lengannya yang terbalut kemeja hitam.

"Aku akan pulang bersamamu." Sepertinya ideku di tentang habis-habisan saat mengatakan akan pulang bersama Rendy. Vano merengut kesal dan lantas menarik pergelangan tanganku untuk ikut dengannya.

"Kamu pulang bersamaku. Aku ingin bicara padamu." Kata Vano sungguh-sungguh. Aku menatap lekat kedua manik matanya yang terlihat lirih. Rasa iba menyeruak hatiku.

"Kamu ingin Narra pulang bersamamu dan menyatukannya kembali dengan gadis kecil menyebalkan itu, begitu?" Sela Rendy ditengah-tengah tatapan kami.

"Itu bukan urusanmu!" Ujar Vano dengan dingin dan ketusnya.

"Kalau begitu beri aku jaminan agar Narra pulang bukan dengan cara seperti ini lagi." Aku dan Vano kompak menoleh ke arah Rendy. Dokter muda ini sepertinya terlihat lebih gusar daripada aku sendiri yang tersakiti.

"Apa urusanmu sih? Hah? Mau pulang dengan kondisi apapun, itu urusan saya!" Sentak Vano menahan emosi.

"Karena saya mencintai Narra!" Aku memelototkan mataku menatap Rendy tak percaya. Mencintai aku? Are you serious, Doctor?

BUGGGG!

Vano dengan kerasnya menghantam wajah Rendy dan mengakibatkan Dokter muda itu tersungkur jatuh ke tanah. Aku sempat kalap dibuatnya dengan mendorong tubuh Vano menjauh. "Vano! Kamu apa-apaan sih!" Teriakku tepat di wajah Vano.

Pemuda itu mengusap kasar wajahnya. "Kubur perasaanmu dalam-dalam, Dokter! Narra's mine! Jangan bermimpi mendapat balasan atas perasaanmu dari calon istri saya." Kalimat terakhir Vano lontarkan sebelum menarikku untuk ikut dengannya memasuki mobil porsche abu-abu ini. Air mataku menitik melihat Rendy kesakitan di jalan dengan setetes darah keluar dari sudut bibirnya. Oh, Rendy maafkan aku.

"Jangan bilang kamu juga memiliki perasaan yang sama dengan dia!" Ucap Vano gusar sambil menjalankan mobil porsche abu-abunya dengan kencang. Ini bahkan sampai membuatku harus membaca doa dalam hati agar tidak terjadi sesuatu selama perjalanan.

Secret AdmirerWhere stories live. Discover now