Empat

11.2K 1.1K 16
                                    

Ucup bersenandung kecil saat keluar dari kelasnya, akhirnya ia bisa tenang terlepas dari soal matematika yang benar-benar membuatnya pusing setengah mampus. Apalagi melihat ibu Helda selaku guru matematika yang bolak-balik mengawasi mereka.

Dan yang lebih lebih parahnya lagi ia tidak bisa mencontek punya Helnan karena anak itu sudah selesai sekitar 5 menit yang lalu. Planga-plongo begitu tuh anak lumayan pintar juga.

"Kemana lagi tuh anak?" Gumam Ucup, matanya bergeliya mencari siluet tubuh yang paling beda menurutnya.

"Kantin ga mungkin, aduh kebelet pipis lagi gue." Ucup menunda sebentar mencari Helnan.

Karena letak toilet cukup jauh yang mana itu berada di paling ujung membuat Ucup mencari jalan cepat yaitu, jalan gudang belakang yang jarang di lewati.

"Lo itu anak haram!"

"Buktinya setiap ada pertemuan orang tua yang datang pasti ibu lo terus!"

"Papa Helnan itu kerja!" Teriak Helnan terlampau marah.

Sayup sayup Ucup mendengar suara Helnan tidak salah lagi Pasti di bully pikirnya, bukan hanya satu kali kejadian seperti ini, dengan tergesa-gesa Ucup menuju ke samping gudang tempat biasa perundungan sering terjadi.

"WOI LO APAIN TEMAN GUE?!!"

"Temannya datang," kata Rio sinis.

"Kurang ajar lo ya! Lo pukulin teman gue?!"

"Cuman di dorong doang, emang teman lo aja yang lemah." Sahut Rega dengan raut wajahnya yang kentara sekali berbohong.

"Lo kenapa sih mau temanan sama anak haram? Dia itu ga punya Ayah!"

Ucup mendecih. "Mulut lo bau! Serah gue lah mau temanan sama siapa aja."

"Bukan urusan lo juga! Pergi atau gue tonjok satu-satu." Ancam Ucup menggulung lengan seragam putihnya. Dengan cepat Rio pergi di ikuti temannya tapi sebelum itu ia sempat menatap tajam Helnan.

"Yang mana yang sakit?" Tanya Ucup memeriksa tubuh Helnan.

"Punggung Helnan kebentur kena itu," tunjuk Helnan menunjuk pot bunga yang sudah rusak.

"Ini tadi di tampar sama Rio." Lanjut Helnan membuat Ucup gondok seketika. Merasa bersalah tidak jadi menonjok Rio dan antek-anteknya.

"Gini nih lo udah berapa kali gue bilang, kalau di hajar itu di lawan Helnan." Kata Ucup.

"Iya nanti aku lawan jangan marah lagi," jawab Helnan takut-takut.

____

"Pada kemana orangnya nih?"

Ucup membuka pintu UKS tapi malah sunyi, pada kemana anggota PMR yang bertugas hari ini? batin Ucup.

"Maaf aku tadi habis dari kantin." Perempuan dengan pita pink di rambutnya itu bergegas memasuki UKS.

Ucup mengangguk pelan merasa canggung ternyata anggota PMR yang bertugas hari adalah Sinta perempuan satu kelas dengannya.

"Kamu yang sakit Satya?" Tanya Sinta.

Satya Yusuf Diharja alias Ucup itulah nama panjangnya, tapi entah kenapa teman-temannya sering memanggil dengan nama Ucup. Kata mereka sih nama Satya terlalu bagus, tidak sesuai dengan tampang Ucup.

Tapi tenang jika di sekolah memang teman sekelasnya akan memanggil dengan nama Satya.

"Bukan gue, nih orangnya." Ucup menggelengkan menunjuk sosok di sampingnya.

"Lho Helnan kenapa?" Tanya Sinta yang hanya di balasi gelengan kepala oleh Helnan.

"Pipinya di kompres aja biar ga memar Sin."

Sinta mengambil air dan juga wadah kecil serta mengambil handuk kecil putih yang memang di sediakan di UKS. Tangannya dengan telaten mengompres pipi Helnan membuat anak itu sedikit meringis.

"Udah udah perih." Ujar Helnan menutup Pipinya.

"Sebentar lagi Nan, ini masih merah banget."

"Gamau!"

"Sebentar aja gasampe satu menit kok." Bujuk Sinta.

Helnan tetep kekeuh menggelengkan kepalanya. "Sinta udah aja, pipi Helnan nyut-nyutan sakit."

Ucup membuang nafasnya lalu turun dari meja yang ia duduki. Memang manusia berakhlak nih Ucup.

"Udah Sin jangan di paksa, nanti nanges."

"Yaudah." Pasrah Sinta.

Helnan berdiri dari kursinya agaknya anak itu lebih banyak diam dari tadi membuat Ucup sedikit mengernyit heran. Biasanya mulutnya tidak berhenti berbicara barang sebentar selalu ada hal random apa saja yang ia tanyakan.

"Kenapa diam? Masih sakit?" Tanya Ucup hati-hati.

Helnan mengangguk kecil. "Dikit, nanti juga pasti sembuh."

"Terus kenapa diam?"

"Laper." Jawab Helnan terlampau gemes.

____

Hal baik tidak terjadi malam ini, Rinjani di buat khawatir dengan Helnan yang sekarang tengah demam suhu tubuhnya sangat panas sehingga anak itu tidak mau di tinggal barang hanya sebentar saja.

"Makan dulu ya, dikit aja, habis itu baru minum obat oke?" Bujuk Rinjani untuk yang kesekian kalinya.

"Elnan ga laper, minum obat pahit gasuka!" Jawabnya semakin mengeratkan pelukannya dengan Rinjani.

Rinjani mengelus punggung Helnan sesekali memijat kepala anak itu.

"ssh sakit."

"Yang mana yang sakit?" Tanya Rinjani mulai khawatir.

"Belakang sini," Rinjani membuka baju Helnan saat menatap punggung anak itu Rinjani cukup terkejut melihat memar di bagian punggungnya.

"Sayang ini kenapa?" Tanya Rinjani. "Ada yang nakalin Helnan?"

Helnan bergumam tidak jelas badannya makin terasa panas saat bersentuhan dengan kulit tangan Rinjani. Apalagi melihat anak itu yang lebih banyak diam dari biasanya membuat Rinjani sedikit berasumsi yang tidak-tidak.

"Helnan punya Ayah?" Tanya Helnan pelan karena memang suasana malam yang sudah sunyi Rinjani sedikit menangkap pertanyaan dari anaknya itu.

"Kenapa tiba-tiba nanya gitu?" Rinjani memeluk erat tubuh mungil Helnan tidak seperti biasanya Helnan bertanya seperti ini? Membuat Rinjani sedikit di hinggapi perasaan rasa sedih yang kembali menyeruak masuk kedalam rongga dadanya.

"Helnan punya Ayah, semua anak di dunia ini itu punya Ayah sayang."

Helnan mengangkat kepalanya menatap wajah Rinjani. "Tapi kenapa Papa Helnan ga pernah ketemu Helnan."

Rinjani mengelus pipi Helnan semburat merah di pipinya menunjukkan jika tubuhnya benar-benar dengan kondisi panas. "Helnan pengen ketemu Papa?"

Helnan tanpa ragu mengangguk. "Tapi kata Mama kan, jika Helnan pengen lihat Papa Helnan lihat bintang kalau yang paling bersinar itu pasti Papa Helnan."

Sebisa mungkin Rinjani menahan tangisannya mencium pipi Helnan berkali-kali menyalurkan rasa sayangnya, Helnan jarang sekali membahas tentang Papanya jika ia sudah mendapat jawaban maka ia tidak akan bertanya lagi. Seperti waktu ia berusia 6 tahun Helnan pernah bertanya dimana Ayahnya.

Rinjani menjawab pertanyaan Helnan karena tidak ingin membuat anaknya bersedih hati. Maka ia dengan lugas menjawab sedang bekerja, lihatlah sekarang ucapan dari Rinjani masih ia ingat sampai sekarang. Bukanya Rinjani ingin membohongi Helnan tapi perasaan sedih seorang ibu kadang membuat Rinjani tidak tega berbicara yang sebenarnya.

"Kata Mama juga Papa itu kerja, kenapa ga pernah pulang? Papa tidak kangen Mama sama Helnan kah?" Kata Helnan kembali menjatuhkan kepalanya bersandar pada Rinjani.

•••

Dia Helnan | Lee Haechan Where stories live. Discover now