Tigapuluh sembilan

5.8K 711 96
                                    

Happy reading~
.
.
.
.

Helnan tidak pernah mengira jika kejujurannya dengan Ucup dua hari yang lalu, menimbulkan jarak pertemanan mereka berdua. Helnan masih di larang untuk ke sekolah dan itu membuatnya terasa gusar, banyak spekulasi yang timbul di kepalanya apakah Ucup kecewa padanya sekarang? Itu adalah pertanyaan yang sering bercokol di kepalanya. Tidak! Helnan tidak mau jika Ucup menjauhinya dan berhenti menjadi teman nya.

Untuk itu, Helnan meminta di belikan handphone, ia bahkan merengek sampai menangis di hadapan Damar ingin segara di belikan. Awalnya para Abangnya tidak mengijinkan jika adek nya memiliki benda pipih itu apalagi anak itu meminta secara tiba-tiba dan tidak memberi tahu alasannya.

Setelah handphonenya sudah di beli kemarin Helnan meminta lagi untuk di ajarkan cara berkirim pesan serta yang lainnya, dan tentu saja itu membuat keluarganya makin di buat curiga. Bahkan Nolan sempat menodongkan pertanyaan jika Helnan memiliki pacar, anak itu sempat marah karena para Abangnya sering menuduh yang tidak-tidak.

Pada akhirnya Helnan hanya memberi tahu jika ia membutuhkan handphone untuk berkabar dengan teman sekelasnya masalah sekolah ataupun pelajaran yang tertinggal selama ini.

Jadi disinilah Helnan berada di dalam kamarnya, sambil berbaring menunggu balasan pesan yang ia kirim pada Ucup kemarin sore dan pagi ini belum ada balasan sama sekali.

Padahal Ucup sudah membaca pesannya.

Kenyataan sekarang Helnan malah semakin merasa di lingkupi rasa takut membuat dirinya tidak tenang.

Di tengah lamunan dan pikiran yang berputar di kepalnya mendadak buyar begitu saja, tatakala pintu kamarnya di ketuk beberapa kali.

"Adek?"

Helnan bangkit dari kasurnya lalu menuju ke arah pintu dan membukanya.

"Kok pucet banget, Adek sakit ya?" Rinjani lalu masuk menarik pelan pergelangan tangan anaknya.

"Enggak eh,, Elnan kan emang sakit." Jawabnya.

"Bukan gitu maksudnya, Adek ada ngerasain sakit atau apa gitu." Kata Rinjani lembut mengusap pucuk kepala Helnan sehingga terasa sekali rambutnya yang makin menipis.

Helnan terkekeh kecil tidak ingin membuat Rinjani khawatir dengan pikirannya saat ini. "Enggak apa-apa Helnan ngerasa baik-baik aja Mama."

Bukanya lega justru Rinjani merasa dadanya seperti terhimpit oleh batu besar saat melihat Helnan yang menenggelamkan kepalanya di bagian perutnya, lalu berbaring menjadikan paha Rinjani sebagai bantalnya.

"Adek mau makan enggak? Mama udah buat ayam goreng kesukaan Adek loh." Kata Rinjani.

Helnan menggeleng.

"Kenapa? Makan sedikit ya, Mama suapin, Adek nanti bakalan ke rumah sakit lagi karena ini udah jadwal Adek kemoterapi."

"Enggak mau..." Cicitnya pelan lalu mendongak.

"Kenapa hmm? Adek nanti kerumah sakit di temanin sama Mama, Papa, juga."

"Takut."

Rinjani memakluminya, sebagai seorang ibu sangat sakit sekali melihat putranya yang harus bolak-balik ke rumah sakit, melihat wajah lugu itu kesakitan lalu merintih, hati seorang ibu mana yang mampu melihatnya.

"Mama..." Panggil Helnan saat melihat keterdiaman Rinjani, mendadak Helnan merasa bersalah.

"Kenapa sayang?"

"Ayok." Katanya membuat kernyitan di dahi Rinjani, ia diam menunggu lanjutan ucapan putranya.

"Ke rumah sakit lagi kan, Adek mau kok." Ujar Helnan. "Nantinya kalau Elnan sering ke rumah sakit, terus kemo kata Papa bakalan cepat sembuh kan Mama." Katanya dengan sorot mata berbinar nya yang di mata Rinjani tampak redup.

Dia Helnan | Lee Haechan Where stories live. Discover now