"Lun, kok baksonya nggak dimakan?" Perkataan Bianca membuyarkan lamunan Luna. Di hadapanya sudah ada semangkuk bakso yang entah sejak kapan di antar ke meja makannya.
"Jangan bilang lo mendadak kehilangan selera."

Luna tersenyum kecil. "Enggak, Bi, tiba-tiba aja kepikiran sesuatu."

Bianca menyuapkan kuah bakso ke dalam mulutnya setelah meniup beberapa kali. "Apa? Jangan-jangan kamu punya gebetan baru, ya?" Tebak Bianca ngasal.

"Bahasa lo gebetan baru, gebetan lama aja nggak ada."

"Daniel."

Luna terbatuk-batuk saat Bianca menuduh tanpa basa-basi.
"Eh, buset. Pemanasan dulu apa, jangan langsung diserang begitu."

Bianca tertawa. "Mmmm, emang gue salah? Jujur lo juga suka kan sama Daniel."

"Enggak, Bi. Udah gue bilang kami cuma temenan. Lo tahu sendiri gue nggak punya temen lain selain lo, Joano sama Daniel. Karena dia sering bantuin gue aja, orang-orang pada berasumsi kalau gue jadian sama Daniel, dia gebetan atau apalah itu."

Dari hati yang paling dalam Luna memang tidak menaruh hati pada Daniel. Ia mengakui memang Daniel itu sempurna dan ia berteman baik dengan lelaki itu, tapi bukan berarti Luna jatuh hati, kan? Bahkan berpikiran untuk pacaran dengan siapapun saja tidak ada di benak Luna, itu karena ia hanya fokus belajar dan belajar, mencoba menarik perhatian orang tuanya lewat prestasi tapi tetap saja mereka mengabaikan keberadaannya.

"Tapi, gue tebak dia punya rasa sama lo, Lun." Tukas Bianca yakin.

Meski begitu Luna tak mempercayainya. Ia tidak ingin berasumsi apapun kalau Daniel tidak mengatakan secara langsung.

Saat itu juga, geng tiga sekawan ber-wu ria saat salah satu dari mereka akhirnya kalah dari permainan dan siap mengeluarkan uang untuk membayar makanan.

Dari tempat Luna berada, ia melihat dengan jelas raut muka Alfian yang terlihat kecewa karena kalah dalam permainan. Sementara itu, Joano dan Mike nampak gembira karena mereka memenangkan permainan, mereka bahkan tak segan untuk melakukan selebrasi. Untung saja tidak banyak orang yang ada di kantin, jadi mereka tidak terlalu memalukan.

"Ternyata badannya doang yang gede, pikirannya masih sama kayak anak TK." Komentar Bianca melihat kerusuhan Joano cs. Bianca lalu kembali menatap Luna dan mengajukan pertanyaan yang membuatnya penasaran, "tapi, ini misalnya ya, Lun, kalau tiba-tiba Daniel nyatain perasaannya ke lo, gimana?"

Luna berpikir sebentar, "Gimana ya? Nggak kepikiran gue."

"Yes or No, doang."

"Bi, perasaan nggak cuma yes or no, doang. Perasaan itu kompleks."

Bianca memutar kedua bola matanya. "Iya, tapi lo ada perasaan nggak sama dia."

"Untuk sekarang enggak, nggak tahu kalau kedepannya." Kata Luna pada akhirnya. Sebenarnya ia malas diintrogasi Bianca seperti ini, tapi apa boleh buat? Kalau tidak segera dijawab, teman sebangkunya itu akan terus mencecarnya.

"Nah, itu nggak tahu kalau kedepannya. Kenapa nggak nyoba dulu aja?"

"Nyoba apa?" Daniel tiba-tiba menampakkan diri di hadapan mereka. Membuat Bianca kelabakan karena membicarakan Daniel berkali-kali, sementara itu Luna tetap terlihat biasa saja, seolah tak terpengaruh oleh pertanyaan-pertanyaan konyol Bianca.

"Hai, Daniel." Sapa Luna.

"Hai juga Luna." Balas Daniel tersenyum ramah. "By the Way, boleh ikut duduk di sini, nggak? Nggak lucu kan kalau gue nyari tempat duduk lain sementara temen gue punya bangku kosong."

"Santai. Duduk aja." Sambut Luna senang hati.

Daniel segera duduk di samping Luna begitu gadis itu mempersilahkan.

"Kok pertanyaan gue nggak dijawab, nyoba apa?" Daniel cukup penasaran dengan topik pembicaraan Luna dan Bianca, pasalnya ketika lelaki itu sedang memesan makanan ia melihat mereka berdua tengah mengobrol asik, karena itu Daniel tertarik untuk ikut gabung bersama Luna dan Bianca.

Bianca tertawa kaku, tanpa pikir panjang ia kemudian menjawab asal pertanyaan Daniel, "nyoba seblak."

Pupil Luna melebar, ia tahu Bianca akan mengalihkan pembicaraan, tapi apa harus seblak? Tidak ada topik lainnya? Luna mengulum senyum, kalau dipikir-pikir topik seblak tidak terlalu buruk.

"Seblak?" Ulang Daniel.

"Iya, di belakang sekolah ada yang jualan seblak. Baru seminggu bukanya, katanya sih enak, banyak topingnya juga. Kapan-kapan makan bareng, yuk?"

Sekarang Luna mengerti mengapa Bianca menjadikan seblak sebagai pengalihan topik, ya karena itu yang lagi banyak dibicarain banyak anak-anak di sekolah, khususnya para cewek-cewek pecinta makanan pedas berkuah.

"Iya, gue juga penasaran sama rasanya. Katanya sih enak banget. Coba makan di sana, yuk?" Kata Luna menambahi.

"Ok, gue ikut." Tanpa pikir panjang Daniel menyetujui ajakan kedua temannya.

"Beneran lo ikut?" Tanya Bianca memastikan.

Daniel tersenyum tipis mendengar pertanyaan Bianca yang meragukannya. "Iya, gue ikut. Gue juga pengen ngerasain rasanya seblak yang katanya enak itu."

"Lo belum pernah nyoba?" Tanya Luna tak percaya.

"Belum. Kok tatapannya pada aneh gitu, sih?"

"Iyalah. Pertama, cowok biasanya nggak suka kalau diajak makan seblak, nggak semua sih tapi kebanyakan gitu. Kedua, meski cowok nggak suka seblak, seenggaknya mereka pernah nyoba makan. Dan, lo nggak dua-duanya. Apa karena lo kaya, ya?" Simpul Bianca.

Daniel mendecak. "Lebay lo, Bi. Enggaklah. Nggak ada hubungannya sama kaya apa enggak. Gue yakin banyak juga orang yang belum nyobain seblak, dan emang gue salah satu orangnya."

"Yaudah, nanti kita janjian kapan waktu yang pas buat makan di sana."

"Ok." Bianca langsung menyetujui perkataan Luna.

"Kenapa nggak nanti pulang sekolah aja?" Usul Daniel.

Bianca menghela napas panjang. "Gue dijemput sama nyokap gue."

"Minta telat jemput."

"Strict Parents." Jawab Luna singkat.

Daniel menganggukkan kepalanya. "Oh gitu. Oke, nanti kabarin aja kapan waktu yang pas."

"Kabarin apa? Kok gue nggak dikabarin?" Joano tiba-tiba muncul ditengah obrolan mereka, ia menarik kursi lalu duduk di samping Bianca.

***

Jangan lupa vote and Comment ygy

Sunda Manda [COMPLETED]Where stories live. Discover now