[CHAPTER 55] Mengenang Masa Lalu

95 59 31
                                    

“Masa lalu tak selalu berkaitan dengan luka lama. Ada kalanya masa lalu mengajarkan kita untuk menjadi seseorang yang lebih baik di kemudian hari.”

*****

    Mereka saling pandang dalam diam. Bel masuk baru saja berbunyi namun itu tak membuat keduanya lantas membubarkan diri. Tetap bergeming di tempat masing-masing. Lily yang kesulitan menyusun kata demi kata. Dan Ayana yang merasa canggung di hadapkan situasi familier dahulu kala, ketika mereka masih membiasakan diri satu sama lain.

    "Kamu—"

    "Lo—"

    Lagi-lagi mereka membisu. Hingga salah satu dari dua gadis tersadar kata ganti yang dipakai lawannya bukanlah “gue-lo” melainkan “aku-kamu”, yang acap kali diucap si gadis.

    "Maaf," sahut si gadis cepat. Sebelum Ayana berucap apapun.

    "Ly," sebut Ayana memanggil.

    "Maaf, karena aku—" Lily terkesiap. Ayana memeluknya sangat erat.

    "Kamu gak perlu minta maaf, Ily. Ira yang bodoh karena nggak tahu alasan kamu ngelakuin itu semua," cerca Ayana. Tanpa dia sangka senyum itu terpatri. "Makasih kamu udah kembali. Ira sayang Ily."

    Bermenit-menit terlewati begitu cepat. Dan tautan dua bersahabat itu melekat erat seolah terperangkap. Ragu-ragu lengan Lily terangkat membalas pelukan Ayana. Yang tak Lily ketahui jika ia ikut menarik bibir. Merasa bahagia Ayana menerimanya kembali, setelah perbuatannya selama ini.

    Ayana yang merogoh saku rok abunya terdesak mencipta jarak di antara mereka. Sedangkan Lily memperhatikan Ayana yang mengutuk pelan si pengganggu. "Siapa, Ra?" tanya Lily mengutarakan rasa ingin tahunya. Pasalnya Ayana langsung me-reject panggilan itu.

    Ayana mengedikkan bahu. "Orang gak penting," balasnya. "Beneran, Ly. Aku nggak bohong," ujarnya di hadapkan pandangan menyelidik Lily.

    "Bohong! Kamu kan gak pintar bohong!" tuduh Lily. Ajaibnya mereka berbaikan semudah membalikkan telapak tangan. Seakan tidak ada hal buruk terjadi di antara mereka berdua. "Siapa, Ra? Adam?" desak Lily.

    Senyum licik Lily timbul. Jika dilihat dari reaksi Ayana yang mematung, itu artinya dugaannya benar. "Kenapa gak diangkat?"

    Kepala Ayana menggeleng kuat-kuat. "Nggak, tuh. Bukan dia."

    "Oh, bukan. Terus kenapa gak diangkat? Karena ada aku?" pancing Lily.

    Senang bisa menggoda Ayana. Mungkin daftar kesukaannya bertambah. Menggoda Ayana, bukan hal asing lagi baginya. Dahulu dia kerap menggoda Ayana yang dekat dengan Leon, teman sebangku si gadis. Yang anehnya tak ditanggapi. Walau Leon yang diikut sertakan malah menimpali, ikut memanasi. Entah mengapa, Leon selalu bersemangat tiap kali melakukannya. Seolah mengode seseorang untuk ikut berpartisipasi.

    Lily tertawa geli. Kenapa baru kali ini ia mendapati Ayana yang diam seribu bahasa? "Kalau iya, aku gak peduli. Maksud aku, aku emang suka dia. Tapi aku sadar sekarang, kalau aku nggak bisa maksain apa yang dia gak suka jadi suka. Toh, aku ikut bahagia kalau dia bahagia sama pilihannya. Ngerti, nggak?"

    Ayana menggerakkan kepala ke samping beberapa kali.

    Kekehan kecil Lily terdengar mengisi keheningan di sekeliling. "Intinya, aku nyerah."

    "Nyerah? Buat apa? Kenapa?" tanya Ayana polos.

    "Nyerah buat dapatin dia. Karena dia berhak bahagia dan aku juga berhak bahagia. Meskipun kami nggak di takdirkan bersama. Ya mungkin bersama sebatas teman, dan gak lebih," ungkap Lily.

FLASHBACK [COMPLETED]Where stories live. Discover now