[CHAPTER 51] Rasa Kecewa

69 56 21
                                    

“Rasa kecewa hadir ketika seseorang tahu orang yang mati-matian diperjuangkannya justru menyerah, enggan diperjuangkan lagi.”

*****

    "Tapi Bu, apa boleh saya minta waktu sebelum pindah?"

    Langkah kakinya spontan terhenti mendengar suara tak asing tertangkap indra pendengarnya. Tubuhnya mendekat ke jendela Ruang Guru. Keningnya bertumpuk melihat sosok familier di hadapan Wali Kelasnya. "Ayana? Ngapain dia—"

    Dia lantas berbalik arah–bersembunyi di balik tikungan–ketika Ayana melangkah keluar, menghampiri pintu. Bernapas lega Ayana tak menyadari kehadirannya. "Ayana? Pindah? Kenapa?" lirihnya kecil. Kepalanya menggeleng cepat. "Nggak mungkin, Tiara! Ayana nggak akan pindah! Lo salah dengar!" serunya meyakinkan.

    Namun kata-katanya justru berbanding terbalik dengan perbuatannya. Dia berjalan ke pintu ruang Guru, menghadap Bu Fanny, lawan bicara Ayana yang menyinggung kata pindah. "Bu Fanny," sebutnya.

    Bu Fanny menoleh, tersenyum ramah menatap anak muridnya. "Iya, Tiara. Ada apa?"

    "Sebelumnya saya minta maaf, Bu. Tadi saya lihat Ayana keluar dari sini, terus saya gak sengaja dengar dia bilang minta waktu sebelum pindah, itu … maksudnya apa ya, Bu?" ujar Tiara ragu. Hatinya berdetak tak menentu.

    "Oh, dia bilang mau pindah sekolah. Tapi, seperti yang tadi kamu dengar dia minta waktu sebelum pindah," sahut Bu Fanny.

    "Pindah? Kenapa Ayana harus pindah, Bu? Dia gak salah apapun, kan, Bu? Kenapa sampai harus pindah sekolah?"

    Bu Fanny mengernyit heran. "Loh, kamu nggak tahu? Waktu itu Ayana pernah bilang akan pindah, tapi karena dia gak bilang alasannya, jadi Ibu minta dia buat mikir lagi soal kepindahannya. Dan tadi dia udah memutuskan untuk pindah," jelas Bu Fanny.

    Tiara terdiam sesaat mencerna perkataan Bu Fanny. Pantas saja hari itu–hari dimana dia berpapasan dengan Ayana yang baru keluar dari ruang Guru–temannya menangis setelah bicara empat mata bersamanya. "Kalau boleh saya tahu, alasan Ayana pindah apa, ya Bu?"

    "Dia bilang dia dan keluarganya akan pindah rumah ke luar kota. Jadi nggak mungkin dia tetap bersekolah di sini."

    Tiara menunduk dalam. Benarkah itu? Ayana akan pergi meninggalkannya? Lalu kenapa dia tidak memberitahunya soal kepindahannya itu? Kenapa selalu orang lain yang menjelaskannya, bukan dirinya sendiri? Berat, kah baginya? Meski begitu, tidak seharusnya Ayana membiarkannya tahu sebab mereka berteman. Bukan begitu?

    "Tiara?" panggil Bu Fanny khawatir menyaksikan Tiara yang bergeming. "Kamu tidak apa-apa?"

    Bohong jika dia baik-baik saja di saat matanya menahan bulir bening yang memaksa keluar. "Saya tidak apa-apa, Bu. Sepertinya saya harus memberi kesan terbaik sebelum Ayana pindah. Kalau begitu saya permisi dulu. Maaf mengganggu waktu Ibu."

    Bu Fanny menganggukkan kepala mempersilakan. Ikut prihatin mengingat Tiara dan Ayana yang belum lama ini kembali duduk bersama. Ya, Bu Fanny tahu bagaimana mereka terpecah hingga Tiara enggan duduk di sebelah Ayana. Hingga melihat mereka bersama setelahnya, Bu Fanny bernapas lega. Tidak tega melihat Ayana yang selalu di temani bisikan-bisikan sinis siswa-siswi SMA Nusa.

    Laju kaki Tiara tampak pelan tak bertenaga. Ayana, lo tega tinggalin gue? batinnya sendu. Hingga terbesit sebuah nama di benaknya. Thania! Thalia! Pasti mereka juga ikut pindah, kan? Nggak mungkin mereka tinggal di sini. Senyumnya merekah, berlari kecil ke area anak kelas X.

    Sampai di sana, harapan Tiara pupus mendengar penuturan bertolak belakang dari pernyataan Bu Fanny.

    Dan di sinilah, dia berada sekarang. Duduk termenung di pinggir lapang. Memandang kosong ke depan, tak berminat menonton aksi para laki-laki yang tengah bermain bola basket. Masih berbekas di ingatan, kedua saudara kembar itu tidak membenarkan ucapannya sama sekali.

FLASHBACK [COMPLETED]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora