[CHAPTER 48] Mulai Menjauh

66 53 11
                                    

“Meski berakhir dengan sebuah senyuman, tetap saja perpisahan terasa menyakitkan.”

*****

    "Maaf kalau selama ini aku ngerepotin kamu."

    Adam menatap gadis di depannya. Alisnya mengerut. Kenapa perasaannya mendadak tidak enak? pikirnya dalam hati. "Ra—"

    "Aku masuk dulu. Kamu hati-hati," ujar si gadis menyela. Berbalik badan, memasuki rumah.

    Sementara itu Adam, lelaki yang bertugas mengantar Ayana pulang saat itu terpaku. Pikirannya melayang ke mana-mana. Mulai berpikir maksud terselubung dari pengakuan tiba-tiba sang gadis. Tidak mungkin! Dia tidak akan melakukannya, bukan?

    Lengannya merogoh saku celana. Jarinya bergerak cepat di atas layar benda canggih tersebut. Setelahnya melajukan motor meninggalkan tempat dimana Ayana tinggal.

*****

    Langkah kakinya tergerak menuju meja paling ujung yang diduduki seorang gadis yang dimintainya bertemu malam hari. "Kenapa lagi?" tanya si gadis ketus. Paham betul alasan si lelaki yang ingin menemuinya. Terlalu mudah ditebak.

    "Apa isi kesepakatannya?"

    Lily menoleh. "Kesepakatan yang mana?" balasnya tak acuh. "Oh, kesepatakan gue sama cewek pembawa sial itu, maksud lo?"

    Adam menahan diri untuk tidak terpancing emosi. Lily selalu memiliki cara tersendiri agar dirinya ikut terbawa amarah. Sebutan “pembawa sial” yang jelas di tujukan kepada Ayana.

    "Emm … apa, ya?" Lily mengetuk-ngetuk jarinya ke meja yang menghasilkan bunyi “tuk … tuk … tuk ….” "Kalau gue kasih tahu, lo mau nggak kabulin permintaan gue, kayak dulu?"

    Hening. Adam tak menggubris pertanyaan lawan bicaranya sama sekali.

    Lily menyunggingkan senyum miring. "Kenapa? Takut gue minta apa yang gue mau selama ini?" sahut Lily tak segan melawan Adam. "Lo tahu sendiri apa kesepakatannya, Dam. Kenapa repot-repot tanya ke gue?"

    Ya, apa yang dikatakan Lily benar. Adam tahu kesepakatan yang terikat antara Lily dan Ayana. "Dia nggak seharusnya pergi karena—"

    "Karena dia nggak salah? Karena dia bukan penyebab orang-orang di sekitarnya terluka? Karena dia bukan pembawa sial?" sela Lily memotong kalimat Adam. "Gue tahu. Tapi … lo yakin bisa yakinin dia? Ya, katakanlah lo benar tentang dia yang bukan penyebab kecelakaan Leon, tapi … yakin, lo bisa yakinin dia kalau dia nggak kayak yang mereka pikirin? Pembawa sial? Gue yakin lo udah coba yakinin dia, tapi sayangnya lo gagal, kan? Bahkan Leon yang dekat sama dia juga nggak bisa ngubah pemikiran dia," tutur Lily panjang lebar.

    Tawa Lily berderai cukup keras. "Ngelihat lo diam aja, kayaknya tebakan gue tepat sasaran."

    Mendengar tawa kemenangan Lily mengeratkan kepalan tangan Adam. "Gue nggak akan nyerah. Karena bukan dia yang harus pergi, tapi … lo."

    Tawa Lily perlahan mereda. Sebelah bibirnya terangkat ke atas. "Oh, ya? Gue yang harusnya pergi? Bukan dia yang notabenenya pembawa sial?" Dengan sengaja Lily menekankan kata “pembawa sial”. "Kalau gitu lo tahu, kan siapa satu-satunya orang yang bisa ngubah pikirannya?"

    "Kali ini gue pasti bisa," tekad Adam.

    "Oke, gue tunggu kabarnya. Tapi jangan salahin gue kalau suatu saat nanti lo minta bantuan gue. Gue duluan," ucap Lily angkuh kemudian bangkit berdiri dari duduknya.

    "Berhenti gangguin Ira atau lo harus terima akibatnya nanti. Gue nggak main-main, Ly," sahut Adam tegas tak terbantah. Balas menatap mata lawan bicaranya.

FLASHBACK [COMPLETED]Where stories live. Discover now