[CHAPTER 46] Si Pembawa Sial

75 53 5
                                    

“Pada akhirnya ketakutannya terulang kembali. Karena sejak awal dia memang pembawa sial.”

*****

    "Lo mau ngomong apa?"

    Lily terkekeh kecil. Menyilangkan lengan di depan dada. "Bisa nggak baik-baik ke gue? Lo lupa siapa yang bantu lo?"

    Gadis itu menahan tawa gelinya. "Lo pikir gue ada di pihak lo?"

    "Kalau nggak, gak mungkin lo terima kesempatan yang lo tolak dulu," balas Lily enteng.

    "Lo salah! Gue gak di pihak lo, ataupun dia lagi," tegas si gadis.

    Lily menarik sebelah senyum. Tatapan matanya mengarah ke ambang pintu. Ini yang ditunggunya. Timing-nya sangat tepat. "Tapi tetap aja, gue utang terima kasih ke lo. Karena lo, gue gak perlu turun tangan langsung. Lo juga harusnya berterima kasih ke gue, karena gue bantu lo. Kita sama-sama menguntungkan, bukan?"

    Lawan bicara Lily berdecak sebal. "Terserah apa kata lo. Gue gak peduli."

    "Btw, kenapa lo berubah pikiran? Karena dia ngebuang lo?" ledek Lily.

    "Bukan urusan lo! Kita cuma saling bantu, jadi nggak usah ikut campur urusan gue!"

    "Oke, itu urusan lo. Yang penting kesepakatan kita tetap berjalan sampai kita buat dia benar-benar pergi," tekan Lily sengaja. Atensinya masih berada di sana. Enggan beralih barang sedetikpun. "Setelah itu, kita bisa dapatin dia tanpa ada cewek pembawa sial itu! Secara adil!"

    "Baguslah, kalau gitu."

    "Lo dengar, kan?" ujar Lily agak keras. Bibirnya tak melepas senyum miring.

    Si gadis berbalik mengikuti arah pandang Lily. Iris matanya menangkap sosok yang dibicarakan mereka berdua. Sejak kapan dia di sana? pikirnya.

    "Siapa yang buat lo harus ngalamin itu lagi?" tekan Lily tajam. Rencananya berjalan mulus. Ayana terlalu naif hanya karena ia beralibi ingin kembali seperti dulu.

    Ayana–gadis yang dipandang Lily sedari tadi–mematung di ambang pintu kelas. Bibirnya enggan terbuka. Suaranya mendadak hilang tak bersisa.

    "Kayaknya ada yang harus kalian bicarain. Kalau gitu, gue pamit duluan," ucap Lily melangkah ringan. Tak merasa bersalah. "Sorry, karena gue, lo harus kehilangan lagi," bisik Lily tepat di telinga Ayana.

    Sepeninggalan Lily, keheningan merayap di antara keduanya. Ayana memastikan berkali-kali bahwa ia salah lihat. Bukan Tiara yang ada di hadapannya! Dia bukan teman sebangkunya, yang selalu membelanya di depan orang lain!

    "Ra, hati-hati sama teman sebangku kamu."

    "Dia pelakunya."

    "Dia yang bikin kamu ngalamin itu semua."

    Kata-kata Adam terlintas di pikiran Ayana. Dia menggeleng-gelengkan kepala. Nggak, Ayana! Tiara nggak mungkin ngelakuin itu! batinnya menyangkal. "Ra," sebutnya pelan.

    Tiara, lawan bicara Lily, mendesah. "Gue nggak ada pilihan lain, selain ambil kesempatan itu."

    "Ra, lo nggak mungkin—"

    "Kenapa nggak mungkin?" Tiara memberanikan diri membalas tatapan mata Ayana.

    Ayana mengernyit merasa asing dengan tatapan mata Tiara yang tak seperti biasanya.

    "Itu mungkin aja terjadi, setelah apa yang udah lo lakukan ke gue."

    Sekali lagi Ayana mencoba menyangkal. Sekuat tenaga menyingkirkan pemikiran itu. "Ra, lo teman gue."

FLASHBACK [COMPLETED]Where stories live. Discover now