[CHAPTER 54] Seperti Sedia Kala

71 55 12
                                    

“Terkadang kita perlu bersabar untuk sesuatu yang lebih besar.”

*****

    Gadis itu menyungging senyum manis. Memamerkannya pada wanita paruh baya yang tampak damai dalam tidurnya. Jarinya membenarkan anak rambut Nada. "Mama ingat, kan teman Aya yang namanya Lily? Yang suka nginep di rumah kita dulu?" ucap si gadis memulai. "Hari ini aku lindungi dia lagi, loh, Ma. Sama kayak dulu, pas dia di-bully."

    Ayana mendesah pelan. Tangannya tergerak menggenggam lengan sang Mama. "Dia baik-baik aja, kan? Kalau aku pergi? Aku takut dia makin kesepian. Mama tahu sendiri, kalau orang tua Lily jarang ada di rumah. Kalau aja dulu aku lebih peka, dia pasti baik-baik aja. Ah! Ayana, kenapa—"

    Merasakan sebuah tangan mengusap kepalanya, Ayana mengangkat kepala. Membulatkan mata melihat Nada lah pelakunya.

    "Kamu gak salah, Aya," lirih Nada.

    Ayana bergeming. Matanya berkaca-kaca mendengar panggilan kecilnya disebut Nada.

    "Anak Mama makin cantik, ya. Maaf Mama salahin kamu karena kecelakaan Bang Aga."

    "Ma … Mama? Mama ingat?" lirih Ayana terbata. Bibirnya bergetar menahan tangis yang bisa tumpah kapan saja. Dia membantu Nada mendudukan diri.

    Nada mengangguk pelan. Masih mengelus rambut panjang sang putri. Senyumnya terukir kecil. Menyambut Ayana dalam pelukan. "Maaf, Mama salah udah tinggalin kamu sendirian," sesal Nada.

    Ayana menggeleng dalam pelukan Nada. Tangisnya pecah saat Nada memeluknya erat. "Nggak, Ma. Mama gak pernah tinggalin Aya. Mama selalu ada buat Aya."

    Nada terisak pelan mendengar pengakuan Ayana. "Kamu mau maafin Mama, kan?"

    "Mama gak salah. Jadi nggak perlu minta maaf," balas Ayana.

    Nada tersenyum lebar. Anaknya tidak pernah berubah. Selalu memaafkan orang lain dengan mudah, meski itu sangat melukainya.

    Bermenit-menit berlalu, Ibu dan putrinya itu enggan melepas pelukan penuh kerinduan tersebut. Mengalah. Nada mengurai pelukan mereka. Jarinya menghapus jejak air mata sang putri. "Udah, ah anak Mama gak ada yang cengeng."

    Ayana pun segera menghentikan tangisnya.

    Nada yang melihatnya agak terkejut. Tidak biasanya Ayana langsung menuruti kata-katanya. "Kamu tinggal sama Tante Fira?"

    Anggukkan kepala Ayana lakukan. "Mama nggak usah khawatir. Aya pasti tinggal sama Mama kalau Mama udah boleh keluar dari sini. Aya janji akan jadi anak baik. Oh, iya Mama tahu gak, Aya peringkat ketiga, loh di kelas," ujar Ayana bercerita.

    Dan hari itu keduanya saling melepas rindu. Ayana yang terus-menerus bercerita mengenai sekolahnya dan Nada yang turut bertanya beberapa hal. Ikut bahagia melihat putrinya baik-baik saja. Hingga sebuah pertanyaan membuat Ayana terdiam.

    "Kamu ke sini sendirian? Teman-teman kamu ke mana?" Nada menangkap raut sedih Ayana. "Ada apa, Aya? Kalian berantem?"

    Ayana menggangguk kecil. "Habisnya Adam nyebelin! Masa dia—"

    "Bukan Adam," sela Nada memotong. "Tapi Lily."

    Lagi-lagi Ayana dibuat membisu. Entah apa yang harus ia katakan. Ia tak pandai berbohong. Alibinya tak pernah di percayai sang Mama, sekalipun.

    "Kalian ada masalah apa?"

    Ayana membuang napas berat. Lagi pula tak ada gunanya dia berdalih toh, Nada pasti mengetahuinya cepat atau lambat.

FLASHBACK [COMPLETED]Where stories live. Discover now