Bagian Lima Belas: Semakin Dalam

Start from the beginning
                                    

"Lo yakin jam segini tempatnya buka?" tanya Atha. Melihat papan nama besar bertuliskan Neverland dengan ukuran jumbo―mengingatkan Atha pada Dufan yang jam bukanya terbilang agak siang.

"Ini bukan Jakarta." Nara membalas dengan nada jutek.

"Tapi emangnya lo punya duit buat bayar tiket masuk?" lagi-lagi Atha mengajukan pertanyaan yang menyebabkan Nara terdiam untuk waktu yang cukup lama.

"Nggak ada duit, bilang aja." cibir Atha setelahnya.

Alih-alih mengakui, Nara justru menggamit tangannya―menariknya lebih dekat yang tentu saja membuat jantung Atha berdebar dan darahnya berdesir. Sensasi aneh mendadak muncul di dalam perutnya.

"Di dunia ini ada banyak cara yang bisa lo lakuin buat masuk taman hiburan tanpa harus pakai duit."

"Contohnya?"

"Nyelinap masuk."

Jawaban Nara seketika menyadarkan Atha dari dunia kecilnya. Perempuan berponi itu melotot dan menatap Nara dengan tidak percaya selagi Nara sendiri menarik kedua sudut bibirnya keatas. Memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapih.

Detik berikutnya, sebuah bus karya wisata yang diisi oleh banyak murid sekolah dasar berhenti di depan gerbang. Ide yang terbesat di kepala Nara buru-buru dia realisasikan. Dengan cepat Nara melepaskan tasnya dan mengeluarkan jaket beserta kaos yang dibawanya.

"Jangan banyak tanya, pakai jaketnya ―anak sekolah nggak boleh masuk kalau pakai seragam, kecuali lagi karya wisata."

Atha menerima jaket berwarna burgandi itu tanpa penolakan yang berarti. Walau awalnya dia sedikit ragu. "Lo pasti udah sinting." gumam Atha seraya menarik resleting jaketnya keatas.

Kini ada satu hal lagi yang rupanya tidak berubah dari Nara sejak dulu; kegilaannya.

"Gue sinting gini kan karena lo yang pengen kesini." timpal Nara yang tiba-tiba saja membuat Atha sesak napas dengan membuka kancing seragamnya ―melepaskannya hingga dia bisa melihat otot perut pemuda itu beserta bisepnya yang terbentuk.

Takut Nara melihat wajah tomatnya, Atha memutarkan badan dan menutup kedua matanya dengan telapak tangan. "Kalau mau buka baju bilang-bilang dong!" protesan Atha spontan mengundang tawa pelan dari Nara.

"Gantengan gue atau Kariza?" Nara bertanya sesaat kemudian. Setelah dia berhasil memakai kaos putihnya yang tetap saja memperlihatkan lekuk tubuh bagian atasnya.

"Ga-gantengan siapa?" Atha mengulang dengan gagu. Matanya berkedip cepat, tidak biasanya dia dibuat hilang kendali seperti ini.

Wajah menyebalkan Kariza saat menyuruhnya membeli roti pagi ini mendadak muncul diotaknya. Atha mengerucutkan bibirnya. Disisi lain, Atha tidak ingin memuji Nara yang jelas-jelas akan besar kepala―dan soal Kariza, dia juga tidak bisa bohong mengenai seberapa menawannya pemuda itu. Lagipula, kalau Kariza tidak good looking mana mungkin Irina menyukainya?

"Gantengan Cameron Dallas." jawab Atha.

Nara mengerutkan dahi. "Siapa tuh?"

Ah ya, Atha lupa kalau ini di masa lalu. Tepatnya enam tahun lalu―dan di masa ini seorang Cameron Dallas belum punya nama di Indonesia.

"Ada deh, orang ganteng pokoknya."

Nara akhirnya hanya mengendikkan bahu tidak peduli lalu mengalihkan pandangannya pada gerombolan anak-anak kecil yang kini membentuk barisan―memasuki gerbang raksasa yang hendak di buka.

Seperti kata Nara, ini bukan Jakarta. Jadi hampir semua hal seperti taman hiburan pun memiliki sistem yang berbeda. Untuk ukuran sebuah taman hiburan,Neverland terbilang buka pada waktu yang kelewat pagi.

Replaying UsWhere stories live. Discover now