Chapter 10 - Hancurnya Sebuah Kebohongan

98 36 2
                                    

Suasana hening menyelimuti Masen dan Shifia yang kini berada di dalam mobil Shifia

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Suasana hening menyelimuti Masen dan Shifia yang kini berada di dalam mobil Shifia. Mereka belum membuka suara sejak beberapa menit yang lalu memasuki kereta besi tersebut. Masih bingung dengan perasaan masing-masing, antara kesal dan malu pasca Richard memergoki mereka sedang bertengkar. Nampaknya circle mereka terlalu sempit. Mengapa mereka selalu bertemu tanpa sengaja terus menerus. Masen yang sedang duduk di kursi penumpang sedangkan Shifia duduk di kursi pengemudi sama-sama menatap kedepan. Padahal Basement ini cukup gelap, jadi tidak ada hal yang menarik untuk menyita perhatian mereka. Tapi kini Shifia akan memulai percakapan dengan membuka secarik kertas yang sudah disimpan di dashboard mobil. Tapi nampaknya Masen memulai percakapan lebih dulu terhadapnya.

"Mobil ini kamu simpen aja di sini. Suruh supir rumah kamu buat ambil. buat sekarang kamu pulang bareng aja sama aku. Ayah bisa marah kalau—"

"Justru Ayah kamu akan marah kalau kita nerusin rencana pernikahan ini," Shifia memberikan sebuah kertas hasil pemeriksaan dokter yang dibungkus oleh sebuah map yang cukup besar. "Kamu dokterkan? Ga perlu aku jelasin lagi berarti apa yang tertulis disana."

Masen masih fokus membaca kertas tersebut dengan seksama. Lalu Shifia menghembuskan nafasnya yang terasa berat. "Itu bukan rekayasa, justru orang tua aku memang sengaja menutupi keadaanku yang sebenarnya," gadis itu mulai menatap Masen dan mencoba tersenyum. "Kita mungkin bisa hidup bersama-sama tanpa cinta. Tapi saya tahu bahwa pernikahan ini sungguh berarti untuk keluarga kamu yang bertujuan memiliki penerus darah biru. Sedangkan aku...ga bisa wujudin itu."

Masen meletakan kertas itu kembali pada tempatnya semula. Ia pijat pangkal hidungnya walaupun tidak merasakan pusing sama sekali. Kemudian ia menundukkan kepalanya dan mulai merasakan bibirnya bergetar. "Jika kita saling mencintai, mungkin hal ini tidak akan saya permasalahkan. Masalahnya adalah...saya hanya anak angkat dan saya tahu rasanya jika suatu saat kita harus mengangkat anak. Saya tidak mau itu terjadi. Rasanya terlalu menyakitkan."

Masen kemudian memberanikan diri untuk menatap wanita yang ada di hadapannya. "Saya bukan tidak bisa menerima kamu apa adanya. Tapi, jika kamu sudah tahu apa yang akan terjadi kedepannya maka tolong kamu bicarakan kepada orang tuaku secepatnya," Masen mencoba tersenyum dan menepuk pundak Shifia dengan perlan. "Terimakasih sudah jujur sejak awal sama saya. Jadi mulai sekarang kita...mantan?"

Shifia mendengus kecil dan mengangguk perlahan membenarkan apa yang dikatakan Masen terhadapnya. Dalam sekejap Masen mengubah kata 'aku' menjadi 'saya' itu artinya ia sudah kembali menjadi orang asing dimata pria tersebut. "Orang tuamu bahkan mengatakan bahwa mereka memilihku karena aku adalah wanita yang hidup dengan penuh keberuntungan. Maka dari itu mereka berharap bahwa anak mereka akan memiliki kehidupan rumah tangga yang beruntung juga. Padahal keberuntungan itu tentang usaha di kali doa yang dikabulkan oleh semesta. Keberuntungan tentu saja berdampingan dengan kesialan. Aku pernah menghadapi kesialan yang bertubi-tubi. Seorang janda sepertiku yang bahkan kehilangan anak yang dikandung dan suami yang masih berstatus siri membuatku gila dalam satu waktu. Ditambah lagi rahimku yang harus diangkat pasca menjadi korban tsunami banten beberapa tahun yang lalu. Menurut orang-orang aku beruntung karena selamat. Tapi justru menurutku itu adalah sebuah kesialan, mengapa aku hanya tersisa sendirian?" Shifia kemudian meraih tangan Masen. Pria itu kira bahwa sang wanita sedang mencari kekuatan tapi Masen salah. Wanita itu kemudian menarik cincin yang melingkar di jari Masen.

Hopeless Romantic [PRE ORDER NOW]Where stories live. Discover now