Chapter 7 - Cincin Tak Berpenghuni

151 36 0
                                    

Bel sudah berbunyi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bel sudah berbunyi. Tanda bahwa seluruh murid bisa pulang ke rumahnya masing-masing. Tapi jam pulang murid berbeda dengan jam pulang semua guru. Jika murid pulang jam 15.00, maka Guru akan pulang 15.45 setelah mereka melakukan jurnal evaluasi yang harus disetorkan kepada pihak yayasan.

Sekolah sudah mulai terlihat sepi. Guru-guru sedang antri untuk melakukan fingerprint sebagai absen pulang. Sebagai guru baru, Nevara sedikit merasa kesulitan. Jurnal yang diketiknya belum juga selesai. Dia mulai cemas karena hari mulai terlihat mendung. Nevara tidak membawa kendaraan sehingga akan sulit untuk ia pulang jika sudah terkena hujan.

Nevara melihat sekeliling ruangan. Ada satu meja lagi yang masih menyala lampunya. Setidaknya, ia pikir masih memiliki teman. Ia mungkin bisa menyelesaikan tugasnya dalam waktu 15 menit lagi. Salahkan ia yang belum memiliki format jurnal yang harus diisi sebelumnya, andai ia tidak malu bertanya pada guru senior setidaknya ia tidak akan terlihat lebih bingung dari sekarang.

Tiba-tiba sebuah kopi berada disamping laptopnya. Jangan lupakan sebuah note berwarna hijau yang tertempel di gelasnya. Nevara kemudian berbalik untuk menemukan orang tersebut. Ternyata dia terlalu fokus pada dunianya sampai ia tidak tahu bahwa ada seseorang bersamanya. Tapi keneningnya mulai mengerut. Bukankah ia belum akrab dengan siapapun. Jadi saat ia melihat sekeliling ternyata pria yang tadi berdebat dengannya sampai menitikan air mata. Terlihat siluet punggung laki-laki itu yang hendak duduk kembali ke kubikel kerjanya.

'Fighting!'

Bukankah aneh jika Masen memberinya kata semangat sedangkan ia ingin sekali Masen mengucapkan kata maaf. Nevara menghela nafas panjang. Jika ia boleh menerka, Masen hanya ingin hubungan Nevara dan dirinya tidak menjadi canggung. Tapi apa mau dikata, setidaknya ia harus menghargai usaha Masen bukan? Jadi Nevara hanya perlu meminumnya dan berkata terimakasih. Apa perlu ia juga melakukan hal yang sama? Tapi untuk apa. Toh Masen sudah melumpuhkan langkahnya bahkan sebelum ia bergerak.

Pekerjaan Nevara telah usai. Kini ia tutup laptopnya dan memasukkannya ke dalam tas berwarna merah marun kesukaannya. Disaat yang sama Masene juga akan keluar dari ruang guru. Seketika mereka bersitatap tapi pandangan mereka seketika menggelap. Ini aneh, mengapa ruang guru seketika mati lampu? Kemudian Masen menepuk jidatnya sendiri, ia lupa bahwa lebih dari pukul empat sekolah akan secara otomatis mematikan lampu kelas dan hanya menyalakan lampu luar saja. Hal ini bertujuan agar tidak ada yang memakai sekolah diluar jam operasionalnya.

Nevara kemudian meraba-raba tas selempangnya dengan tangan kanannya untuk mengeluarkan handphone dan menyalakan senter. Tapi karena panik, kopi yang semula ia genggam di tangan kirinya tumpah di depan dadanya. Sontak saja ia merasa kepanasan. Pasalnya cup kopi tersebut masih mengepulkan asap. Secara refleks tentu saja Nevara meringis kesakitan dan meminta tolong.

Masen masih bisa melihat ruangan yang belum sepenuhnya gelap karena cahaya dari ventilasi luar. Kemudian ia merangkul tubuh Nevara dan membawanya ke mobil yang ia bawa. Nevara mengibas-ngibaskan bajunya karena kulitnya mulai terasa perih. Ingin sekali rasanya ia membuka kancing kemejanya satu persatu dan mengganti bajunya, tapi ia tidak membawa baju ganti. Jadi Nevara hanya pasrah saat Masen membawanya ke kursi penumpang di sebelah pengemudi.

Hopeless Romantic [PRE ORDER NOW]Where stories live. Discover now