16. How

9.6K 964 37
                                    

Maap libur kelamaan. Kapan selesainya weyyyyy. Yok mangat yok.



————

"Masih di sini aja lo, Day."

Suara itu membangunkan Daya. Ralat, wanginya. Hidung Daya mengendus ngendus ke udara dengan mata yang masih terpejam. Wanginya ituloh, bikin Daya berasa lagi di taman bunga film film india. Tinggal joget joget keliling pohon aja sih ini.

"Mas. Wangi sih parfum lo. Tapi lebay banget baunya. Ruangan tertutup nih." Daya menarik selimutnya sampai kepala. Menyelamatkan indra penciumannya dari Rama. Puyeng juga lama lama. Ia menyamankan kembali posisi tidur yang sepertinya sudah mentok itu. Yah, namanya juga tidur di sofa.

Rama memicingkan mata menahan emosi, tangannya mengepal. Kalau bukan Daya, sudah pasti orang yang menghina parfum sepuluh jutanya itu akan dia lempari botol botol parfumnya. Nggak tahu aja si Daya, udah berapa banyak perempuan klepek klepek karena aromanya.

Rama menarik selimut Daya. "Pulang lo. Dua hari tidur di sofa nggak sakit tuh badan." Tangannya menyilang, kepalanya menggeleng melihat Daya yang bentukannya sudah mirip masyarakat nomaden. "Kalau lo hari ini masih tidur disini. Gue telfon dinas sosial ya buat angkut lo!" lanjutnya sambil menahan tawa. Dia akui dia memang menyebalkan. Tapi ia tidak tega melihat Daya tidur tidak nyaman begitu.

"Ganggu lo, mas!" seru Daya sambil mencak mencak. Ia mendudukkan dirinya dengan terpaksa. Dilemparnya bantal sofa yang menjadi teman tidurnya kepada Rama.

"Eits." elak Rama dengan gesit. Ia menjulurkan lidah supaya Daya makin kesal. "Laki lo nggak nyariin?" tanya mas Rama. Yak, pilihan pertanyaan yang mantap mas Rama. Sekalian aja tanya, laki lo nggak peduli ya?

"Dih. kepo." jawab Daya mulai ngegas. Jelas dia mulai kesal. Kesal karena tidurnya diganggu, kesal karena Rama, kesal karena pertanyaannya dan kesal karena.... Sialan! Si Kavka mana sih! Sudah dua hari nggak ngehubungin sama sekali.

Dengan enteng Rama duduk di kursi Daya. Nggak tahu aja kalau Daya udah mulai berubah ijo. Dia malah buka file terakhir yang Daya kerjaka. Ia putar, dan.. "Ini nih!" serunya seperti orang yang nomer lotrenya tembus.
"Nggak sia sia lo nginep di sini." lanjutnya antusias. Ia tersenyum puas mendengarkan demo lagu baru Daya.
"Langsung garap ya. Jadi lagu debut lo."

No no no. Daya menutup telinga dan menggeleng cepat. Sudah tak terhitung berapa kali Rama mengeluarkan kalimat itu. Dan tentu saja untuk saat ini jawabannya adalah tidak.

Suara dering Ponsel tiba tiba berbunyi. Bunyinya terdengar tapi benda itu tidak terlihat. Daya yang menyadari kalau itu adalah bunyi panggilan ponselnya segera mengangkat tumpukan barang barang. Siapa tahu, siapa tahu akhirnya Kavka menghubungi. Bolehkan ia berharap?

"Nih." Rama menyodorkan ponsel Daya yang berada tepat di atas sandaran sofa yang Daya tiduri. "Makanya, jangan cari kejauhan. Padahal di depan mata. Lo malah repot ngubek sana sini." katanya. Lumayan nusuk dan sarat makna juga tuh kalimat.

Daya mendengus. Segera ia periksa daftar missed call di ponselnya. "Olin." bacanya dari layar. Baru dia mau kecewa karena yang menelfon bukan si Kavka. Sedetik kemudian, nama Olin kembali muncul di layar.

"Mbak. Ibu pingsan." suara Olin terdengar bergetar.

Daya langsung mematikan panggilan. Bangkit dan mencari kunci vespa. Sial! Daya merutuk dalam hati. Kemapa nggak ada yang berjalan mulus sih?

"Kenapa, Day?" tanya Rama. Dari raut dan bahasa tubuh Daya, terlihat jelas perempuan itu sedang gusar.

"Ibu, mas." jawab Daya dengan suara tercekat. "Gue mau pulang." lanjutnya. Tangannya masih sibuk mencari kunci vespanya. Penglihatannya makin buram, air matanya mulai menggenang.

We Are Married AnywayWhere stories live. Discover now