2. Sate Kambing

63.7K 2.1K 91
                                    

"Lin, Ibu mana?"
Daya bergabung duduk di sofa bersama adiknya Olin yang sedang asik nonton drama korea.
"Di kamar, shalat." jawab Olin. Ia menyodorkan snack kentang kepada Daya.

Daya memasukkan tiga snack kentang sekaligus ke dalam mulutnya. "Shalat?" mulutnya kesusahan bertanya karena penuh. Ia melirik jam tangan. Tumben sekali Ibu baru shalat jam segini?

Olin menatap Daya,"Shalatnya udah dari tadi. Hari ini doanya panjang kali. Tadi habis dicengcengin ibu ibu komplek." Olin mendesah lelah melihat kakaknya yang menjadi sumber masalah di rumah ini malah mengerutkan kening. "Semua perempuan yang seumuran sama mbak di komplek ini udah pada nikah. Udah pada ngasih cucu, malah ada yang cucunya udah masuk TK." celetuknya cuek.

Topik ini lagi... Daya memutar bola matanya. Kenapa sih semua aspek di hidup ini harus dijadikan ajang balapan? Perempuan itu kalau umur udah di angka dua puluh empat tahun tapi belum nikah, pasti digunjingin satu RW. Bayangin aja gimana Daya yang udah dua puluh delapan tahun. Bukan cuma digunjingin, tapi juga dilihatin pake tatapan jijik seolah Daya itu punya penyakit kulit mengerikan.

"Day, Yuk! Katanya mau makan sate kambing Cak Imin!" ajak Kavka yang tiba tiba muncul dan ikut gabung di sofa.

"Nah ini dia bujang lapuk dari komplek sebelah." ejek Olin tanpa repot memutar kepalanya menghadap Kavka. Di TV sedang ada scene Park Seo Joon, aktor favoritnya.

Kavka mendengus, datang datang bukannya ditawari minum. Malah diledek begitu. "Bujang lapuk? Enak aja lo. Gua ini high quality jomblo."

Masih dengan mata yang tertancap pada layar TV, Olin merasa belum puas mengoloki Kavka. "Cih! Muka ganteng, badan bagus, sama duit lo yang banyak itu percuma, Kak."
Drama yang Olin tontonpun habis. Olin memilih untuk menonton episode berikutnya esok hari. Dia tidak mau buru buru menyelesaikan dramanya. Biar bisa perlahan dan lama menikmati visual Park Seo Joon katanya.
"Ah udah ah, mau naik aja. Bisa ketularan jomblo gue gara gara deket lo sama Mbak Daya." Olin beranjak dari sofa menuju kamar.

Bukannya tersinggung, Kavka malah tertawa. Adik Daya itu memang mulutnya pedas. Bahkan sekalipun mulut mulut pedas ibu komplek digabung, pasti bakal kalah telak sama mulutnya Olin.

Diam diam Daya memikirkan perkataan Olin. Ibu memang tidak pernah mengungkit ungkit soal pernikahan. Ibu tidak mau membebani Daya. Ibu juga selalu bilang tidak apa, mengatur jodoh memang bukan kuasa manusia.
Tapi sayangnya, ucapan mulut dan keinginan hati Ibu berbeda. Bukan sekali Daya mendapati ibu sedang mengusap air mata sehabis membeli sayuran di tempat langganan yang sama dengan ibu ibu lainnya. Bukan sekali juga Daya melihat ibu terlihat muram sehabis memenuhi undangan pernikahan anak anak temannya.

Daya beranjak dari sofa,"Sebentar, mau lihat Ibu dulu." membuat Kavka ikut bangkit, mengikuti Daya menuju kamar Ibu.

"Assalamualaikum, Bu." Daya mengetuk. pintu pelan. Ibu tidak menoleh, masih sibuk berdoa.

"Amiiiin." Daya dan Kavka serentak mengusap wajahnya. Bersamaan dengan Ibu yang melakukan hal sama.

"Kita bantu aminin. Biar semua doa ibu terkabul." Daya duduk dilantai, memeluk Ibunya yang tersenyum hangat dengan erat. Begitupun Kavka, ia ikut duduk di sisi Ibu yang lain.

"Ada Kavka juga." Ibu menyentuh wajah Kavka, pria itu sedikit meringis,"Sudut bibir kamu kenapa?"

Sontak Daya juga ikut mengalihkan pandangannya ke arah Kavka. Sudut bibir Kavka memang sedikit memar, dia baru sadar. Kemeja Kavka juga kusut, ada sedikit noda di lengan bajunya. Bukan Kavka banget. Biasanya dia bisa mencak mencak kalau setelan kerjanya kusut, apalagi kotor begini. "Kenapa lo? Di pukulin keluarga korban dari klien lo?"

We Are Married Anywayحيث تعيش القصص. اكتشف الآن