[CHAPTER 48] Mulai Menjauh

Começar do início
                                    

    Lily bergeming sesaat. "Kenapa gue harus berhenti? Kalau gue nggak bisa dapatin lo, itu artinya dia juga nggak bisa," lirihnya pelan. Matanya memperhatikan punggung Adam yang perlahan mengecil hingga tak terlihat.

*****

    Gadis itu berlalu setelah di persilakan pergi. Keluar dari ruang Guru, iris matanya langsung bertubrukan dengan pemilik mata yang enggan mengakui keberadaannya. "Tiara!"

    Dengan wajah tak bersahabat, Tiara menghentikan kakinya. Menunggu kelanjutan ucapan Ayana, yang telah menghancurkan kepercayaannya terhadap orang lain.

    "Boleh minta waktunya sebentar?" pinta Ayana memohon.

    Tiara merotasikan bola matanya malas. "Ngapain?"

    Ayana menarik pelan pergelangan tangan Tiara. Membawa gadis itu ke tempat sunyi. Sedangkan yang ditarik, menatap tangan Ayana di lengannya. Hingga suara sahutan Ayana menyadarkannya kembali ke realitas. Berdeham kecil, Tiara memasang wajah jutek. "Lo mau ngomong apa?"

    Sebelum memulai, Ayana menarik napas pelan. "Makasih ya selalu ada buat gue, meskipun gue sering bikin lo marah. Makasih juga mau kenal sama cewek pembawa sial kayak gue. Gue berutang banyak sama lo, Tiara. Apalagi lo sering banget belain gue di depan umum, buat jelasin kalau semua rumor itu nggak benar. Lo teman terbaik yang gue punya selama di sini, Tiara Vallencia."

    "Udah ngomongnya?" sinis Tiara. Seolah kata demi kata yang dilontarkan Ayana tak berefek apapun. "Sekarang giliran gue. Dengar ya, mulai detik ini juga gue nggak akan selalu ada buat lo. Karena gue tahu lo emang cewek pembawa sial. Dan anggap aja lo nggak ada utang apapun ke gue, itu lebih baik buat masa depan gue. Yang ada gue ketularan sialnya lo. Paham?"

    Tiara berjalan tanpa berpamitan. Meninggalkan Ayana yang tergugu di tempatnya berdiri. Punggungnya ia sandarkan di dinding. Mengembuskan napas panjang. "Sadar, Ra. Lo nggak boleh kemakan omongan dia. Sekalinya bawa sial gak akan berubah sampai kapanpun."

    Dahinya bertumpukan ketika mendengar suara isak tangis seseorang. Tiara menengok ke arah taman belakang, yang disinggahinya beberapa menit lalu. Tampak lawan bicaranya tengah terduduk dengan kepala tertunduk dalam. Berusaha menyembunyikan tangisannya.

    Lo kenapa nangis, Ayana? batinnya. Hingga Tiara sadar atas kekhawatiran tak terucapnya, dia menepuk pelan kepalanya. "Kenapa itu jadi urusan lo, Tiara? Nggak usah peduliin orang yang gak bisa di percaya. Sadar, Tiara!" Geleng-geleng kepala, Tiara memutar arah, tidak mempedulikan Ayana yang entah menangisi apa. Dia enggan mengetahuinya.

    Kakinya spontan berhenti mendapati sosok familier di hadapannya. Menghalangi jalan yang hendak di laluinya. "Ada apa?" tanyanya.

*****

    Kaki panjangnya melangkah ringan. Sampai di kelas tujuannya, senyumnya tertarik lebar. Gadis yang dicarinya tengah duduk bersama teman sebangku pertama sang gadis. "Hai, Ira. Kantin, yuk?" ajaknya. Mengacuhkan keberadaan lelaki di samping si gadis.

    Si gadis menggeleng pertanda menolak.

    Si lelaki manggut-manggut. "Kalau aku minta bantuan kamu, boleh kan?"

    Tangan si gadis terhenti, tak lagi melanjutkan kegiatan menulisnya. Kepalanya tertoleh sepenuhnya ke arah Leon. "Nggak!"

    Tak mendapat respon seperti biasanya, dia menaikkan sebelah alis heran. "Ra, kamu—"

    Belum selesai bicara, si gadis berdiri dari duduknya. Berlalu tanpa mengatakan apa-apa. Menciptakan kerutan bertumpuk di kening. Pasalnya tidak biasanya Ayana memperlakukannya layaknya orang asing, seperti tadi. Tatapan Ayana yang dingin. Jawaban ketus Ayana. Itu semua tidak seharusnya ia terima.

FLASHBACK [COMPLETED]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora