Part 8

36.5K 2K 6
                                    

Sesampainya di depan ruang kesehatan, yang pertama aku lakukan adalah mengetuk pintu.

“Permisi, Bu Nina ada?” tanyaku sambil membuka pintu dan melihat sekeliling di ruang tersebut. Namun, orang yang tidak disangka-sangka ternyata ada di dalam ruang kesehatan yang otomatis membuatku terdiam.

“Hirana? Ada apa? Kamu terluka?” tanya seorang perempuan yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingku. Itu adalah Bu Nina. Akan tetapi, aku masih terdiam dan tidak menjawab pertanyannya. Mataku masih terpaku pada satu orang yang sedang berbaring di atas kasur dengan ke dua temannya yang berdiri di sampingnya untuk menemaninya. Aku mengenali wajah salah satu orang tersebut. Itu adalah Nata. Tidak mungkin aku lupa dengan wajah orang yang mencekikku.

Di samping Nata, terdapat perempuan dengan rambut panjang dan wajah yang mungil, aku tidak tahu siapa dia. Lalu, satu orangnya lagi yang sedang berbaring di atas kasur, memiliki wajah yang benar-benar cantik, kulit putih, dan bibir merahnya, serta bulu mata lentiknya yang panjang membuat siapapun yang melihatnya pasti setidaknya akan menoleh padanya.

Mereka berbincang-bincang sembari tertawa bersama. Aku bisa melihat bahwa mereka sangat-sangat dekat.

Aku masih terdiam memperhatikan mereka. Aku bahkan tidak membalas perkataan Bu Nina yang sedari tadi sudah memanggilku.

“Hirana, kamu nggak apa-apa? Ada yang sakit? Sini masuk dulu. Jangan berdiri di depan pintu” ucapnya sambil menarik tanganku masuk ke sisi lebih dalam ruangan tersebut.

“Hirana? Hei… Hirana?” Bu Nina melambaikan tangannya di depan wajahku yang masih diam menatap mereka. Karena kita sudah berada di sisi dalam ruangan, otomatis tempatku dan Bu Nina berdiri semakin dekat dengan mereka. Mereka juga menoleh ke arahku, sepertinya karena mereka mendengar Bu Nina memanggil namaku.

Lambaian tangan Bu Nina di depan wajahku membuatku tersadar. Aku kembali memusatkan perhatianku ke Bu Nina, walaupun sebelum itu aku sempat melirik ke arah Nata dan ke dua orang di dekatnya.

“Hirana? Kamu kenapa? Bilang di bagian mana yang sakit?” tanya Bu Nina lagi kepadaku.

Aku menggeleng menandakan bahwa aku tidak sakit di bagian manapun. Aku pun membuka suara untuk menyatakan tujuanku kesini. Akan tetapi, karena aku tidak mau terdengar oleh Nata dan orang-orang itu, aku membawa Bu Nina ke tempat di bagian sudut yang terletak paling jauh dari tempat mereka berada.

“Bu Nina, saya mau ngomong sesuatu, tapi sebelumnya boleh kita pindah kesana terlebih dahulu” pintaku.

Bu Nina mengiyakan perkataanku dan kami pun berpindah posisi ke tempat yang aku tuju. Kami berbicara dengan suara yang kecil memastikan Nata dan orang-orang di sana tidak mendengar perkataanku.

“Jadi gini bu, sebelumnya. Kedatangan saya kesini saya mau tanya kira-kira Bu Nina tau nggak keberadaan Rena sekarang di mana? Atau mungkin apa ibu tahu nomor Rena yang bisa dihubungi? Saya nggak tahu ponsel saya di mana. Saya mau minta maaf sama Rena soal kejadian itu” ucapku.

Bu Nina menatapku. Kemudian ia merogoh sesuatu dari kantung celananya. Ia mengeluarkan sebuah smartphone berwarna ungu dan memberikannya padaku.

"Ini ponselmu? Aku lupa memberikannya kembali padamu. Saat kau terjatuh bersama Rena, ponsel ini ditemukan di pakaianmu, tetapi karena kami harus melakukan pemeriksaan pada tubuhmu, jadinya ponsel ini disingkirkan terlebih dahulu kemudian aku simpan. Akan tetapi, karena banyak kejadian yang terjadi, aku lupa mengembalikannya. Coba saja kau nyalakan, waktu itu ponselmu sempat aku matikan dayanya. Kurasa jika dinyalakan sekarang, ponselmu masih memiliki baterai yang tersisa” jelas Bu Nina padaku.

Aku tersenyum dan berterima kasih. Asiikkk, sekarang aku punya handphone. Saat aku nyalakan, ternyata benar masih ada baterai yang tersisa. Saat aku mau membuka kunci ternyata Hirana memberi password pada handphonenya itu. Untung saja ia juga memasang pengenal wajah, jadi saat aku mengarahkan wajahku, itu bisa langsung terbuka.

“Hirana” panggil Bu Nina lagi. Aku mengangkat kepalaku kembali memindahkan perhatianku dari ponsel yang kupegang ke arah Bu Nina.

“Iya?” jawabku.

Bu Nina tiba-tiba tersenyum tipis, “Kau bilang, kau ingin meminta maaf pada Rena kan? Aku rasa ingatanmu belum kembali sepenuhnya karena kamu tidak mengenali Rena, tetapi itu adalah hal yang bagus karena kau setidaknya sudah memiliki niatan untuk meminta maaf.”

Kemudian, Bu Nina menunjuk tiga orang yang sedari tadi memperhatikan kami.

“Yang berambut panjang dan memakai baju berwarna biru muda adalah Rena. Yang memakai baju berwarna putih disebelahnya itu adalah Nata dan yang sedang berbaring itu Tere. Tere saat ini sedang tidak enak badan, tetapi kondisinya sudah enakan ketika kedua temannya mengunjunginya. Kamu bisa kesana saja dan bicarakan mengenai masalah kalian” ucapnya.

Aku terdiam. Aku berada dalam posisi antara siap dan tidak siap. Aku tahu sedari tadi mereka memperhatikanku. Apa lagi Nata, tatapan matanya seakan-akan sudah siap untuk membunuh orang. Aku melihat ke arah mereka. Memperhatikan mereka dengan saksama. Jadi, si cantik berambut panjang itu adalah Rena, adik dari Ashtara. Sedangkan, yang sedang berbaring dengan wajah cantik yang tidak manusiawi itu adalah Tere, sang pemeran utama.

Ini pertama kalinya aku melihat mereka secara langsung. Jika kalian bertanya mengenai bagaimana tanggapanku. Aku akan menjawab, orang-orang itu benar-benar terlihat cantik dan menawan. Jika orang-orang ini ada di duniaku dulu, aku tebak mereka pasti langsung menjadi artis atau selebgram yang memiliki banyak followers.

Aku menghela nafasku berkali-kali, untuk mempersiapkan diri. Tentu saja aku meyakinkan diriku berkali-kali sambil menyemangati bahwa semua akan berlalu ketika aku berhasil menyelesaikan masalah ini. Meski begitu kecemasan yang kurasa sama sekali tidak berkurang.
















~~~~~



Hai, part yang kali ini lagi agak pendek yaa, hehe

Selamat membaca semua ~~





To be continued.


My Handsome Ashtara [END]Where stories live. Discover now