Part 4

48.1K 2.5K 6
                                    

Entah sudah berapa hari aku tertidur. Yang jelas saat aku terbangun kepalaku terasa sakit seperti telah tertidur lama. Saat aku membuka mata, kalian mau tau siapa orang pertama yang aku lihat.

Laki-laki berwajah tampan dengan surai hitam, hidung mancung, dan rahang yang tegas. Iya benar. Dia Ashtara, sang pemeran utama kita. Entah kenapa, saat aku membuka mata dia telah berada di sisiku.

Aku menatapnya. Menikmati keindahan wajah dan tubuhnya dari tempatku berbaring. Kapan lagi ya kan melihat orang tampan dari dekat. Matanya yang terpejam memperlihatkan bulu mata lentiknya yang terlihat menawan.

Saat aku sedang asyik menatapnya, tiba-tiba ia membuka mata. Matanya menatapku tajam.

"WAKKHH"

Aku kaget setengah mati. Aku pikir ia tertidur, tetapi ternyata tidak. Mata tajamnya terasa ingin menusukku. Aku hampir lupa, kejadian dimana Hirana menjatuhkan Rena dari atas membuat banyak orang marah, tidak terkecuali Ash, kakak dari Rena.

"Sudah sadar, kan?" Suara berat itu terdengar menusuk si telingaku.

"Mau sampai kapan tidur terus dan lari dari permasalahan? Kau harus tanggung jawab" lanjut Ash.

Aku meremang mendengar suara milik Ashtara. Suara beratnya yang terkesan menekanku terus terngiang-ngiang di kepalaku.

"Udah.. berapa lama aku tidur?" Tanyaku pelan dan sedikit berhati-hati.

Ash terdiam, lalu menyeringai.

"10 hari. Bahkan Rena udah diperbolehkan pulang. Bisa-bisanya kau masih berada disini. Bertanggung jawablah, Hirana" ucapnya dengan suara beratnya.

Entah kenapa wajah Ash saat ini terlihat menyeramkan. Wajahnya memang tampan tetapi ekspresinya tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Mata tajamnya yang masih menatap tajam padaku, terasa bagaikan ancaman untukku.

Sinyal bahaya dalam tubuhku berbunyi, bulu kudukku berdiri. Aku tahu ini merupakan sinyal bahaya. Jantungku berdetak lebih cepat. Ash terlihat menyeramkan saat ini. Ya Tuhan, aku takut. Gimana dong. Gimana ini. Apa mungkin, tokoh penggambaran karakter yang ditulis dalam buku itu hanya bualan. Jangan-jangan sebenarnya Ash itu kayak yang di film-film psikopat. Bicaranya biasa, ekspresinya biasa, wajahnya tampan, tapi membunuh banyak orang.

Berada dalam kondisi ini, membuatku tidak bisa berpikir jernih.

"Aku minta maaf. Maafkan aku" mulutku ternyata bekerja lebih cepat dibanding otakku. Kenapa? Kenapa tiba-tiba aku mengucapkan kata maaf. Otakku bahkan masih berpikir. Kenapa kamu bekerja duluan wahai lidah. Bahkan yang sebenarnya melakukan itu kan Hirana yang asli. Lagipula hitungannya kan akau masih dalam kondisi amnesia, kenapa aku yang meminta maaf. Yah sepertinya tubuhku tahu dan mengikuti sinyal bahaya sehingga ia bergerak lebih cepat mendahului otak yang sedang berpikir.

Ash yang tadinya diam, tiba-tiba terkekeh pelan. Kalian harus tahu disini dia benar-benar terlihat menyeramkan. Aku lebih baik dia marah-marah seperti kemarin dibanding melihatnya seperti ini.

"Kenapa malah meminta maaf sekarang? Harusnya minta maaflah ke Rena dan orang-orang yang sudah kau lukai itu. Dokter bilang kau sudah pulih dan hanya perlu menunggu bangun. Aku tahu kau sebentar lagi diperbolehkan pulang" ucapnya dengan tenang. Namun, ketenangan itulah yang membuatku merasa tidak nyaman.

Kemudian ia melangkah ke arahku dan mendekat padaku.
"Maka bertanggung jawablah. Saya tidak akan melepaskan anda. Tahu kan akibatnya jika lari? Lagipula saat ini tidak ada Bu Nina seperti kemarin yang akan melindungimu ketika kamu pura-pura hilang ingatan" bisiknya pelan tepat di telingaku. Entah kenapa setiap dia mengucapkan kata-kata dengan bahasa yang lebih formal, rasanya sangat menakutkan dan penuh dengan penekanan. Tangannya menyentuh leherku pelan, menyentuh bekas cekikan yang dibuat oleh Nata. Aku merinding. Sungguh. Kenapa? Kenapa Ash menyeramkan sekali.

Di novel "I'm yours", Ash memang diceritakan sebagai orang yang cukup dingin, tetapi memiliki segudang prestasi dan organisasi. Ash diceritakan berkualitas tinggi, tetapi tidak menyombongkan diri dan sering membantu banyak orang. Bukan seperti ini. Rasanya seperti ada yang menahan jalur nafasku. Hawanya penuh dengan tekanan. Aku harus apa? Aku benar-benar ingin nangis sekarang. Tolongg.

Ash berdiri menatapku. Terdiam sebentar sebelum menyunggingkan sebuah senyuman. Kemudian, pergi dari ruanganku.

****

Perkiraan Ash tidak salah. Aku benar-benar diperbolehkan pulang tidak lama setelah aku tersadar. Nah sekarang yang jadi masalah adalah aku tidak tahu rumahku dimana. Akhirnya aku mencari tahu nomor yang bisa kuhubungi ke pihak rumah sakit. Kalau kalian bertanya kok ke pihak rumah sakit? Iya, soalnya pas aku dibawa kesini, pasti rumah sakit minta nomor wali ataupun nomor yang bisa dihubungi untuk keperluan pasien.

Setelah bertanya, aku pun mendapatkan sebuah nomor. Akan tetapi, karena aku nggak tahu ponselku dimana, akhirnya aku menelepon dengan meminjam telepon rumah sakit. Bagian yang mengurusi administrasi hanya menggeleng-geleng keheranan. Ohiya aku sempat bertanya siapa yang mengurus administrasiku, mereka bilang namanya Nina siapa gitu. Jadi aku menduga nomor telepon yang sekarang aku telepon ini adalah nomor milik Bu Nina.

Saat telepon itu tersambung, ternyata benar, itu adalah Bu Nina. Aku pun segera menanyakan alamat rumahku. Kemudian Bu Nina bilang dia akan menghampiriku dan memintaku untuk menunggu.

Cukup lama aku menunggu, akhirnya Bu Nina datang. Ia menyelesaikan administrasi dan pembayaran. Ia juga berkata tadi cukup lama karena dia juga harus bertanya pada orang-orang dimana alamat rumahku karena Arfi tidak bisa dihubungi. Aku pun mengangguk dan berterima kasih serta mengatakan bahwa aku akan mengganti biaya rumah sakitku. Bu Nina hanya tersenyum dan mengatakan bahwa aku tidak perlu menggantinya. Kemudian, ia pun mengantarku pergi ke rumahku.

Sesampainya di rumah, aku sempat menawarkan Bu Nina untuk masuk ke dalam, tetapi ia menolak dan langsung pulang ke rumahnya. Aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam rumah. Rumah tersebut benar-benar terasa suram dan gelap. Lampu-lampu tidak dinyalakan dan hawanya lembab. Aku berusaha mencari dimana saklar lampu. Setelah ketemu, aku menyalakan lampu itu dan tepat saat lampu nyala, aku melihat kakakku Arfi sedang tertidur di sofa. Yah aku tidak begitu peduli sih, mungkin dia memang ngantuk.

Eh nggak deng, sebenarnya tetep kepikiran kenapa Arfi, kakak dari Hirana malah marah-marah sama Hirana dan bukan membela adiknya. Hmm, mungkin emang si Hirana ini jahat, tapi kan setidaknya mungkin bertanya dulu ke Hirana apa benar dia yang ngelakuin itu dan apa alasannya. Bahkan kayaknya pas di rumah sakit, setelah Arfi marah-marah ke aku alias Hirana, dia tidak pernah datang lagi untuk mengunjungiku. Meski banyak pikiran yang berkecamuk diotakku, aku tetap melangkahkan kakiku sambil mencari dimana letak kamarku. Setelah sampai di kamar, aku langsung merebahkan tubuhku dan tertidur.













*****

To be continued.

My Handsome Ashtara [END]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora