....🚩bagian sembilan belas : aturan kedua🚩....

36.6K 5K 49
                                    

"Tuan Austin, hiks."

Air mata Selena luruh, membuat Austin secara suka rela menariknya kedalam pelukan pria itu. Sejenak nafas Selena dibuat tercekat oleh aroma tubuh Austin. Perpaduan segar mint bercampur citrus yang terasa sangat menenangkan, belum lagi deru nafas Austin yang terasa dekat dengan telinganya. Lembut namun menggelitik.

Astaga... mentang-mentang ganteng, suara jantungnya juga ikut-ikutan ganteng. Hehe, calon ayang gue. Aa Austin tersayang. Kekeh Selena dalam hati.

"Nona sudah merasa lebih baik?"

Selena membelalak, buru-buru ia mengusap kedua matanya yang terasa berat begitu Austin melepas pelukan mereka.

"Terima kasih."

Austin mengerjap bingung "Terima kasih? Untuk apa?"

"Karena tuan Austin mau menerima permintaan saya dan... terima kasih juga karena sudah menenangkan saya,"

"Oh, itu bukan masalah." balasnya, tersenyum ramah.

"Jadi kapan pelajaran pertama saya dimulai?"

Mendengar pertanyaan polos Selena membuat Austin tak tahan untuk tidak terkekeh, bahkan ia juga mulai berani mengacak surai lembut perempuan yang ada didepannya. Sederhana dan terlihat sepele, tapi sikap Austin ditambah senyumnya membuat Selena jatuh makin dalam pada perasaannya.

Kalo emang ini mimpi, gue rela nggak bangun demi aa Austin!. Teriak Selena.

"Bagaimana kalau besok?"

"Benarkah?"

"Hm, nanti saya beritahu waktunya."

"Kalau begitu..."

Selena merogoh saku celananya, lalu tanpa tau malunya ia menyerahkan ponselnya.

"Apa ini?"

"Saya ingin meminta nomor ponsel tuan Austin!" lugasnya, tak tau malu.

Biarlah seperti itu. Lagi pula pria sempurna seperti Austin tidak layak di sia-siakan, jadi di kehidupan ini Selena yang akan memimpin. Dia akan bergerak cepat bahkan sebelum pria tampan seperti Austin merangkak dibawah kakinya.

Sementara itu, meski sempat merasa bingung, tapi akhirnya Austin kembali tertawa.

"Maaf nona, tapi saya tidak punya ponsel."

"Apa?" pekik Selena tak percaya.

Mana mungkin Austin tidak memiliki benda sepenting itu dalam kehidupannya. Padahal Selena yakin kalau Austin memegang benda elektronik itu, kontaknya pasti penuh dengan nama perempuan. Alhasil Austin tak perlu repot-repot merayu mereka terlebih dahulu hanya demi beberapa digit angka, lantaran pesona pria itu saja sudah cukup menjadi alasan, terutama Selena.

"Tuan Austin bercanda kan?"

Austin tersenyum lembut, lalu menggelengkan kepala "Saya tidak merasa membutuhkan benda itu,"

"Tapi saya... ekhm, maksudnya bagaimana kalau tuan Edbert mencari anda?"

"Saya sudah bekerja disini selama 15 tahun, dan tuan Edbert juga tau kalau saya tidak memiliki ponsel. Karena itu tuan Edbert selalu menghubungi saya lewat telepon paviliun."

"Dan tuan Edbert tidak keberatan menghubungi tuan Austin dari sana?"

"Kalau itu saya tidak tau, tapi sejauh ini tuan Edbert tidak pernah memprotes keputusan saya." jelasnya kembali terkekeh.

Jauh berbeda dengan Austin, wajah Selena kini berubah masam. Padahal dia sudah bersusah payah meredam rasa malunya, tapi harapannya untuk memiliki nomor Austin justru tak terlaksana.

PROLOG (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang