Chapter 5 : Joshi Hera

1.4K 129 0
                                    

            Banyak sekali ranting-ranting pohon menghalangi jalanku. Burung-burung berterbangan membuatku terus waspada adanya musuh. Penglihatanku harus setajam binatang buas agar dapat mengenali mangsaku dengan baik. Tidak ada kata kasihan, langsung tembak dan mati, hanya itu saja. Tidak ada kata bernegoisasi dengan orang lain lagi, lakukan semuanya sendiri, dengan tangan kotorku akibat perbuatan dosa yang telah kulakukan di dunia.

          Aku melihat Boshi-san sedang bersembunyi di balik pohon beringin besar. Tanpa berpikir panjang, aku mengeluarkan pistolku dan menembak. Sayang sekali, tembakanku meleset sehingga dia kabur dari kandangku. Padahal jarak antara kami tidak terlalu jauh tapi arah tembakku meleset sangat jauh. Aku berusaha menemukan jalan keluar untuk kabur dari hutan sialan ini. Aku sering sekali tersesat padahal sudah diberi kompas petunjuk arah. Benda yang menempel pada lenganku tidak terlalu berguna. Bahkan jarum kompas tersebut terus berputar ke arah berlawanan. Dalam beberapa menit selanjutnya, jarum kompas mulai berputar ke arah barat dari utara. Apa kami sedang dipermainkan?

          Ada sesuatu yang bergerak dibalik semak-semak. Aku mengokang pistolku dan berusaha mendekat pada target. Aku menembak asal pada semak-semak tersebut dan muncul sosok monster dengan ukuran tubuh lebih dari 1,5 meter. Suara bising yang dibuat membuatku tersontak kaget. Aku terus menembaknya tapi tidak mempan. Monster itu terus mendekat membuatku mundur secara perlahan. Aku terus menembaknya dan semua berakhir sia-sia. Aku mengisi kembali peluruku, tanganku bergemetar sehingga aku membutuhkan waktu untuk mengisinya. Cakar besar monster tersebut menghempas tubuhku sehingga terpental menabrak pohon. Aku berusaha bangkit tapi monster itu sudah tepat berada di atas kepalaku.

          "Tolooooooooooooonnnggggg."

          Suara tembakan bergema. Mosnter itu terjatuh ke tanah dan mengilang layaknya debu tertepa angin.

          "Tolong bantu dia."

          Seseorang berlari mendekat ke arahku. Dia berusaha menyenderkanku pada pohon, merogoh tasku dan mengambil 'nyawa' milikku. Bukan untuk dicuri melainkan menenggakkan 'nyawa' tersebut untukku. Badanku terasa sedikit ringan. "Agak baikan?" Tanya Mahari-san.

          "Kenapa kalian membantuku?"

          Mereka berdua saling menatap dan mengangkat bahu secara bersamaan. "Lebih baik kita mencari tempat aman. Disini adalah pusat dari monster itu. Yusa bisakah kau yang memimpin jalan? Aku akan menggendongnya."

          " Baiklah."

          "Maaf merepotkanmu."

          "Tenang saja. Aku pandai menembak."

          Kaito-san sudah menjongkok untuk mempersilahkanku naik. Aku menerima tawarannya tersebut dengan senang hati. "Apa kalian membuat aliansi?"

          "Iie." Jawab Mahari tenang. Kaito tidak membuka suara sama sekali. Ada apa dengan mereka berdua?

Kami berjalan berdampingan. Untuk beberapa alasan aku terasa terlindungi. Mahari terus menembak monster tersebut dengan mudah dan cepat, dan Kaito terus melindungiku. Kaito berusaha menaikan tubuhku kembali ketika sudah berkali-kali aku terpersot dari tubuhnya. Aku bisa mencium harum herbal pada rambut hitam pekatnya dengan jelas. Hangat.

          "Kau sedikit berat." Protes Kaito-san.

          Wajahku memerah sesaat mendengarnya.

          "Kano ternyata bukan lelaki sejati."

          "Apa maksudmu?!"

          "Lelaki sejati tidak pernah mengeluh jika sedang menggendong seorang gadis. Hanya seperti itu saja sudah tidak kuat."

          Aku  mendengar mereka saling menyebut nama asli mereka. Mereka juga membuat percakapan yang tidak mementingkan batas kesalahan yang akan ditimbulkan. Percakapan ringan tapi tampak sebuah kedekatan yang mendalam.

          "Kalian memanggil nama asli satu sama lain?"

          Perdebatan mereka terhenti dengan pertanyaanku yang tak terlalu berguna.

          "Ya.... begitulah." Jawab Kaito sedikit ragu.

          "Bukankah jika kita semakin dekat dengan seseorang akan merugikan?"

          "Aku tahu. Tapi mau bagaimana lagi, aku merasa nyaman di dekatnya." Jawab Kaito lagi.

          Jadi begitu..... Tidak peduli terhadap peringatan yang telah diberikan game ini, mereka tetap menjalin sebuah ikatan walaupun akan merugikan diri mereka. Aku sedikit iri.

          "Apa tempat ini menjadi tempat dimana kalian pertama kali bertemu?"

          "Tidak." Mahari menyangkalnya, "kami sering bertemu di kedai milik orang tuaku tapi kami hanya mengobrol sekali. Lagi pula dia datang hanya untuk mabuk-mabukkan."

          "Hei, kau juga sering mabuk!"

          "Hahaha ternyata kalian sudah saling memperhatikan tanpa kalian sadari." Aku hanya bisa tertawa miris.

          "Itu tidak benar." Sangkal mereka berdua.

          Lucu sekali melihat mereka berdua. Perdebatan kecil dengan nada datar tak ada senyuman disana terasa hangat untuk didengar. Mereka seperti mengekspresikan dengan hati sehingga orang-orang tidak bisa melihat ekspresi sesungguhnya dibalik ekspresi mereka. Walaupun mereka berkata demikian, aku yakin suatu hari nanti kalian berdua akan menyadari perasaan kalian masing-masing. Kalian yang sekarang hanya belum siap untuk menerima perasaan itu.

Life GameWhere stories live. Discover now