bab 28

98 11 1
                                    


Aku terus memikirkan kejadian di penjara tadi sepanjang perjalanan pulang. Pikiran ku masih tertahan di sana, dan mengakibatkan fokus ku pada jalan menjadi terbagi.

Hampir saja aku menabrak pejalan kaki yang hendak menyebrang, untunglah aku segera membanting stir motor ke arah kanan walau menyebabkan kaca bagian depan motorku rusak akibat menabrak pohon.

"Kalau bawa motor fokus dong!" ujar pejalan kaki yang ku taksir seumuran anak Bu Zulaikha yang meninggal lalu.

"Iya mas. Saya minta maaf." ujarku padanya.

"Mas nya ada yang luka?" ku hampiri ia dan ku perhatikan seluruh tubuhnya, takut ada yang luka.

"Sudah, saya ndak apa-apa. Itu motor mas nya di lihat dulu." tunjuk nya pada motorku yang teronggok di bahu jalan.

"Iya mas. Sekali lagi saya minta maaf."

Ku hampiri motor ku dan melihat kerusakannya. Semoga saja masih bisa di gunakan melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba..

Brrukkk....

Terdengar bunyi tabrakan tepat di jalan yang tadi pejalan kaki itu lalui. Atau jangan-jangan..

Astaghfirullah..
Pejalan kaki tadi telah terseret lumayan jauh dari posisi jalannya tadi. Sementara mobil yang menabraknya terus melaju dan melewati tubuh pejalan tersebut.

"Woi. Jangan kabur!"

"Tulis plat DN nya!"

"Pengemudi tak beradab!"

"Semoga mobil mu lekas masuk jurang."

Teriakan-teriakan warga sekitar terdengar serempak memakai sang pengemudi mobil.

Tubuh pejalan kaki tersebut telah di kerumuni banyak warga. Ia segera di larikan ke puskesmas terdekat karena dari sini rumah sakit lumayan jauh.

Sementara yang lain menyiram darah pejalan tadi yang tergenang di jalan.
Semoga orang itu selamat.
Aku benar-benar syok dengan kejadian beruntun hari ini. Tubu ku gemetar.

"Mas, duduk dulu disana." sapa seorang ibu yang ternyata pemilik warung di pinggir jalan ini.

Ku ikuti saran ibu tersebut. Aku memang butuh istirahat sejenak atas semua kejadian ini.

"Ini mas. Diminum. Mas nya kelihatan pucat sekali." Ia menyerahkan sebotol air mineral padaku. Dan langsung ku teguk habis.

"Cok, kau siram itu darah di sana. Tak mau mamak warung mamak ini sepi lantaran arwah gentayangan!" titahnya pada anak muda yang sedang main hp di kursi depan warung.

"Iya Mak. Iya." ucap pemuda tersebut yang kuduga adalah anaknya.

"Maksud mbak gentayangan apa yah?" tanyaku ketika sudah mengumpul kekuatan.

"Takutnya ada yang iseng meras jeruk di darah bekas jalan itu. Kalau ada yang iseng seperti itu, bisa-bisa arwah yang tadi kecelakaan gentayangan di sekitar sini. Bisa-bisa warung saya sepi." jelasnya.

"Tapikan belum tentu pejalan tersebut meninggal." tuturku.

"Belum tentu bagaimana. Tidak mungkin masih hidup, kepalanya sudah hanc*ur begitu."

Aku yang mendengar ucapan ibu tersebut sontak saja terkejut. jadi, kepalanya han*cur.
Kalau begitu, sia-sia harapanku yang menginginkan dia selamat tadi.

"Mbak, air nya berapa. Saya mau lanjutkan perjalanan dulu. Terimakasih sebelumnya." ujarku.

"Yakin mau lanjut kan perjalan? Apa sudah kuat?" tanyanya.

"Iya mbak. Saya mau singgah di bengkel juga. Jadi, berapa air nya?" tanyaku lagi.

"Tidak usah di bayar. Hati-hati saja di jalan." ujarnya

Dibalik Kematian Mereka[Selesai]Where stories live. Discover now