Bab 13

104 10 0
                                    


Part 13

Ketika aku membuka mata. hari sudah pagi, Matahari telah menyinari bumi dengan sinarnya.

Aku ingat. Semalam aku pingsan setelah mendapat ingatanku yang masih samar. Tapi, siapa gadis itu?
Apa anak pak Ranto?
Ah, mana mungkin.

Namun, tak mungkin juga gadis dalam ingatanku itu adalah Laras. Laras tak pernah memiliki rambut panjang.

"Sudah bangun kamu mas?" Pertanyaan Laras yang pertama kali kudengar ketika membuka mata.

"Berapa jam mas pingsan dek?" Kupegangi kepalaku yang terasa berdenyut.

"Aku ndak tau mas. Kamu pingsan atau tidur. Kaya ndak ada bedanya. Semalam kamu pingsan, bangunannya yah baru pagi ini." jelas Laras.

"Kamu ingat sesuatu mas?" selidik Laras.

Jika aku bilang iya.
Maka, Laras akan menyimpulkan bahwa aku memiliki sesuatu dengan Gadis, seperti yang ia ucapkan semalam.

Namun, mengapa setelah melihat foto Gadis, ingatanku kembali walau masih samar.

"Ndak dek. Mas belum ingat apa-apa." jawabku berbohong.

"Oh, Laras kira mas ingat sesuatu. Terus kenapa semalam setelah melihat foto Gadis, mas bertingkah seakan ingat sesuatu. Mana sampai pingsan gitu." ia masih belum puas dengan jawabanku.

"Mas ndak tau dek. Tiba-tiba saja kepala mas sakit cenat cenut gitu. Apak kita cek ke dokter lagi saja"

"Tapi, hari ini kita mau pergi melayat ke rumah pak Kades mas."

Akhirnya Laras sudah tak bertanya yang aneh-aneh lagi.

"Oh iya. Jam berapa sekarang dek?" tanyaku

"Jam 7 mas. Aku udah siapin sarapan. Mas mandi dulu terus sarapan. Kita harus kerumah pak Kades." titah Laras

Ku usahakan bangun walau kepala masih berdenyut dan sedikit sakit. Rasanya pusing.

"Sini ku bantu mas." Laras datang hendak memapah ku

"Ndak usah dek. Mas bisa kok." tolakku

Dengan berpegangan pada tembok, akhirnya kaki ini sampai di depan pintu kamar mandi.

"Mas, jasad Gadis beneran ndak ada di kubur nya?" tanya Laras ketika kami tengah menyantap sarapan.

"Iya. Kemarin pak Ranto nyamperin mas ke kebun. Nuduh mas yang sembunyiin jasad anaknya."

"Orang tua itu bener-bener yah mas. Cuman lantaran mas yang pertama nemu mayat anaknya. Eh, dia udah nuduh yang endak-endak." Laras terus menyuap nasi ke mulutnya

"Pantes aja muka mas pada lebam gini setelah pulang dari kebun." ujar Laras.

Ku kira ia tak menyadari lebam di wajahku. Soalnya kemarin dia sama sekali tak menyinggung wajah lebam ku ini.

"Sudah ndak usah di perpanjang. Habiskan sarapannya." titahku.

Selesai sarapan, aku dan istri bersiap menuju rumah duka.
Sebenarnya sedikit ragu juga untuk mengunjungi rumah duka.
Takut jika sampai sana aku malah di sambut oleh tuduhan sebagai pembunuh anaknya.

Astaghfirullah, mikir apa aku ini.

*******

Aku dan Laras pergi dengan menggunakan sepeda motor. Sebenarnya jarak rumah duka tak terlalu jauh kata istri.
Tapi, agar cepat sampai kami lebih memilih menggunakan sepeda motor.

Rumah duka sudah terlihat sangat dekat. Hanya memerlukan waktu 8 menit kami telah sampai di rumah duka.

Tenda sudah terpasang, sekelompok ibu ibu terlihat tengah asik berbincang di depan rumah, mungkin sekitar lima orang ibu ibu.

Samar ku dengar sahutan seorang ibu yang mengenakan gamis biru berenda dengan atasan jilbab merah, wajahnya di poles bedak putih dan lipstik merah menyala. Ia berucap dengan sedikit berbisik namun bisikan nya sekampung pun dengar.

"Ini pasti kematian anak pak Kades ada sangkut pautnya sama si warga baru itu." ucapnya pada kawannya.

"Ah, mosok sih. Katanya juga sih kemarin dia di tuduh nyembunyiin mayat si Gadis sama pak Ranto. Apa iya yah." sahut kawanannya yang lain.

"Pasti dia. Setelah kedatangannya. Rasanya desa ini seperti kena kutukan. Ada saja yang meninggal. Mana masih muda semua lagi." sahut ibu bergamis biru tadi.

ketika melihat kehadiran ku, seorang ibu yang berdiri tepat di sampingnya menyenggol lengannya. Seakan mengisyaratkan untuk diam karena yang mereka bicarakan telah ada di depan mata.

"Pembunuh nya datang melihat korban. Ndak punya malu apa yah, dasar pembawa petaka." ujar seorang ibu bergamis biru itu lagi. Sepertinya dia memang tipe ibu tak berperikemanusiaan.

"Mas.."

Laras nampak menghentikan langkahnya dan menahan pergelangan tanganku.

"Sudah. Ayo lanjut. Kita datang dengan niat baik." ujarku menenangkannya

Kamipun melanjutkan langkah dan melewati ibu-ibu tersebut. Ketika langkah kami kian dekat dengan mereka. Ibu bergamis biru tadi kembali berceletuk.

"Dasar ndak punya malu. Keluarga pembawa sial." ujarnya

"Jangan gitu Roh, ndak baik." tegur salah satu ibu yang berada di dekatnya

Mungkin yang ia panggil Roh adalah ibu yang menyinggung kami tadi.

"Ayo lanjut dek. Ndak usah di hiraukan." ujarku pada Laras ketika Ku lihat ia mengepalkan tangan dengan mimik wajah marah.

"Sudah, ayo masuk. Niat kita datang untuk melayat bukan untuk ghibah." ucap ibu berbaju hitam.

Kulihat mereka mulai melangkah bersamaan memasuki rumah, mendahului kami. Hingga tiba-tiba...

Brrugh..

Ibu yang tadi julid padaku dan Laras terjatuh karena menginjak gamisnya sendiri.

"Tuh, lihat. Bicarain keluarga mereka saja aku sudah terkena sial nya. Bagaiman jika aku berdekatan dengan mereka? Bisa pindah alam aku."

Ia melampiaskan rasa malunya pada kami. Padahal kami berada cukup jauh dari mereka. Posisi mereka telah memasuki teras rumah duka. Sementara kami masih berada di halaman rumah.

Kulihat istriku berlalu mendahului ku, sepertinya ia tak tersinggung sama sekali oleh ucapan ibu itu.
Hingga tiba-tiba ia berhenti tepat di samping ibu tersebut.

Perasaan ku seketika menjadi tak karuan. Apa yang akan istriku lakukan padanya. Apa akan terjadi keributan di rumah ini?
Oh, jangan sampai. Ini adalah rumah duka.

"Kalau malu bilang aja buk. Lain kali kalau jalan pakai mata, bukan pakai mulut. Biar ndak jatuh dan ketimpa malu." ujar Laras pada ibu tersebut.

Ibu tersebut nampak mengepalkan tangan, dengan mata melotot. Terkejut juga kesal dengan perkataan istriku. Namun, ia tak bisa berkata apa apa. Selain terus saja membersihkan gamisnya.

Ketika kaki ini akan melangkah masuk, mataku menangkap sosok pak Mujito mendorong seorang bapak memasuki garasi mobil kepala desa.

Aku yang memang mempunyai rasa penasaran yang tinggi pun segera mencuri dengar apa yang hendak mereka bahas.

"Kowe belum kasih barang itu ke dia. Sudah tak bilangin. Barang ini harus di kasih setiap hari Jum'at. Kalau ndak, efek mantra nya bisa pudar." ujar Pak Mujito berbisik.

Aku yang bersembunyi di samping garasi tak berani mencari tahu siapa sosok lawan bicara pak Mujito.

"Apa mereka ndak akan curiga kalau tiap Jum'at ku kasih barang ini." ucap lawan bicara pak Mujito.

"Yah kamu pura pura saja bertamu ke rumahnya. Terus selipin ini di tempat yang ndak bakalan mereka tau. Hari ini adalah hari Jum'at. Pokoknya kamu harus kasih ini ke dia. Firasat ku bilang bahwa dia mulai mengetahui sesuatu." ujar pak Mujito

Pembicaraan mereka makin lama makin terdengar pelan di telingaku. Aku terus mencoba mendengar apa yang mereka ucapkan dengan cara menempelkan badan sedekat mungkin dengan garasi. Namun, nihil aku tak mendengar apa apa lagi.

"Loh, Man. Ngapain kamu di situ?"

Sosok Imtinan tiba-tiba keluar dari dalam garasi mobil pak Kades.

Apa lawan bicara pak Mujito tadi adalah Imtinan?

Dibalik Kematian Mereka[Selesai]Where stories live. Discover now