bab 15

94 13 3
                                    

Part 15

Imtinan berjalan masih dengan posisi yang sama. Menunduk melihat handphone. Ia sudah memasuki pekarangan rumah.

"Serius sekali lihat hp nya Nan. Untung ndak tabrakan sama pak Hasan." ujarku

"Hah. Pak Hasan. Mana?" Ia mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah belakang.

"Oalah, iya tah. Ada pak Hasan juga tadi di jalan. Ndak sadar aku." ujarnya melangkah masuk

"Iyalah ndak sadar. Kamu loh asik selingkuh." ledekku

"Selingkuh gimana?"

"Lah iya. Selingkuh sama handphone mu." ujarku lagi.

"Ndak usah Aneh kamu man. Mana ada selingkuh sama handphone." Ia duduk di kursi teras.

"Wih, kamu udah tau aku bakalan datang. Sampe repot nyiapin kopi gini. Kamu emang teman yang baek man." Imtinan mulai menyeruput kopinya.

Kubiarkan dulu ia menikmati kopi hitam tersebut sebelum aku mengatakan sebelumnya kopi itu milik pak Hasan.

"Enak?" tanyaku

"Enak Man. Tambah enak kalau ada cemilannya Iki." ujarnya terus menyeruput kopi hingga tersisa setengah gelas.

"Habisin aja. Tadi itu kopi pak Hasan." ujarku

Mendengar ucapanku tadi Imtinan langsung menyemburkan kopinya yang menyebabkan noda kopi berceceran di lantai teras.

"Keterlaluan kamu Man. Mosok aku di kasih kopi bekas orang." Imtinan protes.

"Lah, salahmu main seruput ndak tanya dulu." ujarku

"Sudah, kopi itu belum di sentuh pak Hasan kok." ujarku lagi menenangkan.

"Iyo belum tersentuh tangannya. Tapi sudah tersentuh jimat nya." ujar Imtinan.

"Jimat gimana? Aku loh Nan yang bawa kopi ini ke teras. Pak Hasan malah ndak lirik sama sekali kopi ini " Ujarku

"Jadi tadi pak Hasan dari sini?" ia bertanya

"Lah iya. Kan sudah kubilang kopi itu awalnya punya pak Hasan." ucapku sedikit kesal

"Ngapain dia? Pasti ada niat buruk dia itu." Imtinan berasumsi.

"Kamu itu. Ndak baik berprasangka buruk begitu sama orang." ucapku

"Kamu ndak tau saja apa yang telah ia lakukan selama ini. Asal kamu tahu yah man. Dia it...."

"Sudah-sudah. Kamu malah curiga ke pak Hasan. Harusnya yang di curigai itu yah kamu." ucapku memotong perkataannya.

"Lah. Kok aku?" Imtinan menunjuk dirinya sendiri.

"Kamu itu keseringan ke sini. Hampir tiap hari. Patut di curigai." Ku seruput kopiku yang sedari tadi melambai-lambai.

"Aku ada tujuan kemari." Imtinan memutar bola matanya.

"Pak Hasan juga ada tujuannya." bantahku.

"Ah, sudahlah. Ndak ada habisnya debat sama kamu. Ini loh, aku kesini mau nunjukin ini."

Imtinan menyodorkan handphone nya padaku. Nampak di layar gawainya gambar sebuah bibit jagung.

"Bibit jagung? Untuk apa?" tanyaku masih tak menangkap maksud dirinya.

"Kebun mu yang di tanami kacang itu kan setengahnya belum di tanami apa-apa. Bagaimana kalau ditanami jagung saja? Masih lumayan luas loh itu." sarannya.

Kebun tersebut memang sebagian belum di tanami apapun. Bibit kacang juga sudah habis.

Apa kuterima saja tawaran Imtinan.

Dibalik Kematian Mereka[Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang