bab 22

88 13 2
                                    


Segayung demi segayung air ku guyur ke seluruh tubuh, air yang mengalir yang membasahi seluruh tubuh terasa begitu menyejukkan.

Tiba-tiba aku teringat pada pak Hasan  yang pagi tadi menumpang toilet di rumahku. Kemudian teringat ucapan Imtinan yang mengatakan bahwa barang yang pak Hasan bawa ada pasangan nya dan di letakkan di tempat tersembunyi di rumah ini.

Apa jangan-jangan pak Hasan menyembunyikan pasangan dari barang itu di sekitar kamar mandi ini.

Setiap sudut kamar mandi yang kecil ini ku susuri. Mulai dari bawah loyang, tempat penyimpanan sabun. Hingga paku-paku tempat menggantung handuk pun ku susuri.

Namun nihil, tak sama sekali aku temui barang aneh tersebut.
Atau jangan-jangan pa Hasan meletakkan nya di sekitar pintu kamar?

"Mas, itu kaki nya di lap dulu. Lantai jadi licin ini." protes Laras ketika aku berlari dengan kondisi tubuh di penuhi sisa-sisa air mandi, belum kering sempurna.

"Mas buru-buru dek." ucapku berlalu.

Namun, belum sampai kaki ini di lantai kamar. Tiba-tiba dari arah kamar mandi terdengar benda yang pecah. Aku berlari kembali ke arah dapur.

Praangg...

"Dek. Apa yang jatuh?" tanyaku bersitatap dengan Laras

"ndak tau mas. Aku dari tadi belum masuk ke kamar mandi." jawab Laras heran.

"Sana lihat mas." titah Laras.

Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk mengetahui benda apa yang terjatuh.

"Aduh.." keluhku ketika tak sengaja menginjak pecahan.

"Kenapa mas?" Laras menghampiri ku.

"Kok cerminannya bisa pecah mas?" tanyanya.

Aku juga heran mengapa cermin kecil berbingkai plastik itu bisa jatuh. Padahal sewaktu aku mandi cermin itu tak menunjukkan akan jatuh.

"Mas sih. Keluar kamar mandi buru-buru banget. Gini jadinya." omel Laras berjongkok hendak membersihkan pecahan kaca.

"Lah, kok mas yang salah." ujarku

"Kalau lantaran mas. Harusnya cerminannya jatuh sewaktu mas buka atau tutup pintu ketika keluar dari dalam. Cerminannya loh jatuh nanti mas sudah di dalam dek." ujarku lagi.

"Iya yah mas. Terus kenapa bisa jatuh dong?" Laras menatap ku.

"Mungkin pakunya copot dek." ujarku mengalihkan pandangan pada paku cermin di belakang pintu.

Aku dan Laras kembali saling tatap ketika melihat paku tersebut masih tertancap kokoh di sana.

"Mas. Kok iso?" Laras menatap takut ke arahku

"Udah, ndak usah di hiraukan. Ayo lekas bersihkan dan kita makan malam. Mas mu ganti baju dulu." ujarku

Di saat kaki ini ingin pergi meninggalkan Laras yang sedang membersihkan pecahan tersebut.
Kakiku kembali terpaku ketika mata ini melihat sesuatu yang berbeda di bawah pecahan cermin yang paling besar.

"Dek.. itu apa?" Tunjuk ku ke arah pecahan paling besar.

"Apa. Yang mana?" tanya Laras balik.

"Ituloh, di balik pecahan paling besar." jelasku

Laras kemudian mengangkat pecahan tersebut yang dibawahnya terdapat lipatan kain dengan dua sisi berwarna beda. Hitam dan putih. Berukuran kecil dengan jahitan memenuhi sisi kain.

Apa ini?
Benda aneh yang Imtinan maksud kah?

"Ini apa mas?" Laras menyerahkan kain itu padaku.

"Entah dek. Mungkin pasangan dari benda yang di bawa pak Hasan." ujar ku.

"Kok bisa di sini?"

"Kamu ingat ndak waktu pak Hasan numpang kamar mandi?" tanyaku

"Oalah. Sudah kubilang sama kamu mas. Perasaan ku tuh ndak enak sama pak Hasan itu." ujarnya mengingat ucapannya sendiri saat itu.

"Kamu malah bilang ndak baik berprasangka buruk sama orang." lanjutnya lagi mengungkit.

"Iya, mas minta maaf. Ini mas yang simpan. Mas ganti baju dulu." ujarku berlalu

"Loh kenapa ndak langsung di bakar saja mas? Itu barang ndak baik loh."

"barang ini kalau di bakar malam gini apa ndak apa-apa? Sebaiknya kita beritahu Imtinan dulu sebaiknya bagaimana. Siapa tahu masih ada yang harus di baca-baca sebelum bakar barang ini." jelasku menghentikan langkah.

"Mantra maksud kamu mas."

"Iya, semacam itulah." ujarku

"Yowes, terserah kamu mas. Aku masak dulu."

Apa iya aku harus memberitahu Imtinan perihal ini?
Aku jadi tidak terlalu mempercayai nya ketika mendengar cerita dari pak Hasan sore tadi.

"Mas, itu motor kamu apa ndak akan di maling nanti?" Laras bertanya dari arah dapur.

Kutepuk jidatku. aku sampai lupa belum mengambil motor itu.
Aku akan menelfon Imtinan dan meminta tolong untuk mengantar ku ke pemakaman.

"Dek, nomor Imtinan ada ndak yah di kontak hp?" tanyaku pada Laras sambil memakai pakaian.

"Kayanya sih ada mas. Coba cek di handphone kamu." jawab Laras dari arah dapur.

"Handphone mas dimana dek?" tanyaku lagi.

"Lah, kamu yang punya handphone kok nanya nya ke aku sih mas." omel Laras.

"Aku kan seharian ini ndak pegang handphone dek. Kali aja kamu lihat." Ku cari di dalam lemari namun tak jumpai.

"Ndak tau aku mas." ucap Laras

Ku cari lagi benda pipih tersebut di bawah ranjang.
Aku menemukan nya. Namun, mengapa bisa di dalam sana. Dan sangat sulit di raih.

Ku ulurkan tanganku sedalam mungkin agar bisa meraih benda pipih itu. Tapi tak kunjung dapat, kolong ranjang yang kecil menyulitkan aku masuk ke bawah sana.

"Dek, diaman sapu?" tanyaku pada Laras yang sedang memasak makan malam.

"Di balik pintu dapur itu." tunjuk nya ke arah pintu penghubung dapur dan ruang nonton.

Kembali ku coba untuk meraih handphone ku menggunakan gagang sapu. Dan, dapat.
Tapi tunggu. Ini bukan handphone kepunyaan ku.

Ini handphone yang ku temui tempo hari. Mengapa ada di bawah kolong ranjang?

Mungkin sudah saatnya aku mencari tahu pemilik handphone ini. Sejauh ini mengapa belum ada laporan kehilangan ponsel di desa ini.

Ketika menyalakan handphone, mataku di suguhkan foto Selfi Gadis. Anak pak Hasan.
Berarti ini adalah gawai milik Gadis. Tapi, mengapa bisa terletak di jalan?

Ku buka aplikasi pesan di gawai ini. Ada nama Wira disan. Berarti benar, ia pacaran bersama Wira.
Kemudian ada beberapa nama teman-temannya dan..
Namaku? Mengapa ada namaku disini? Dengan nama kontak Mas Rohiman.

"Mas, Imtinan datang." ujar Laras dari pintu kamar.

Lekas ku sembunyikan gawai ini. Aku tak ingin Laras menduga yang tidak-tidak tentangku. Nanti saja ku telusuri lagi isi handphone ini.

"Iya. Kamu buatin kopi dek." titahku kemudian berjalan menuju ruang tamu.

"Loh Nan. Baru aku mau telfon. Kam sudah disini saja." ujarku duduk di kursi sebelah nya.

Tepat di kursi depanku duduk seorang bapak yang gak ku ketahui siapa.

"Pak..." kuanggukan kepala guna menyapa nya.

"Saya Judin. Pak Judin. Penjaga sekaligus yang bersihkan pemakaman desa." ujarnya memperkenalkan diri.

"Saya Rohiman pak. Ada apa yah pak?" ujarku bertanya perihal kedatangannya bersama intinya.

Dibalik Kematian Mereka[Selesai]Where stories live. Discover now