bab 9

85 8 0
                                    

Badan Bu Hindun di pegangi oleh beberapa ibu-ibu, ia terus berontak dan akan menyerangku kembali.

Hingga sang suami datang menenangkan.

"Buk, buk. Tenang, nyebut Bun. Nyebut" pak Hasan terus menenangkan istrinya

"Pak. Pak, dia yang bunuh anak kita pak." ucapnya penuh tangis sembari terus menunjuk ke arahku.

"Dito anak kita ndak ada karena dia pak. Anakku Dito!"

Bu Hindun nampak terduduk di tanah sembari terus memukul-mukul tanah. Dan terus memanggil manggil anaknya yang telah tiada.

"Dito anakku!" ia terus berteriak sesekali menarik rambutnya sendiri.

Bu Hindun di papah dan di bawa pulang oleh sang suami.

"Ayo Man. Sudah mau Maghrib." Suara Imtinan mengejutkan aku yang tengah melamun. Mencerna situasi.

"Eh, iya ayo"

Motor kami pun melaju. Nampak pak Ranto tak menghiraukan kejadian heboh yang tadi terjadi.

Namun, mungkin akan berbeda jika ia mengetahui bahwa aku lah sang tokoh utama dari kejadian heboh barusan.

Bisa saja ia membentuk kelompok bersama bu Hindun.

"To, itu kok Bu Hindun bisa ada di situ yah?" tanyaku pada Imtinan ketika kami baru saja turun dari motor.

"Yo mana ku tahu. Bisa saja dia juga mau ziarah ke makam anaknya. Kan anaknya pagi tadi di kubur di situ juga." Imtinan mulai berjalan menyusuri lahan.

"Emang dia ndak ikut pemakaman Dito pagi tadi Nan?"

"Sepertinya sih ndak Man. Pagi tadi kan dia kumat dan nyerang kamu." jelas Imtinan

"Sebentar malam aku mau ke rumah pak Hasan Nan." ucapku mulai ikut menyusuri lahan.

"Ngapain?"

"Mau nanya kenapa Bu Hindun bisa nuduh aku yang bunuh anaknya." jelasku.

"Kan udah ku kasih tau kalau Bu Hindun agak sedikit ndak waras Man." Imtinan menoleh padaku

"Iya, tetap saja. Segala sesuatu nya itu pasti ada alasannya kan." Ku dahului langkahnya.

"Yowes, terserah kamu. Nanti aku temani kesana." usul Imtinan.

Yang Imtinan ucapkan tempo hari benar adanya. Lahan yang ku beli ini telah menjadi kebun kacang. Walau masih setengah lahannya saja yang nampak di tanami kacang.

Kacang yang kata Imtinan kami tanam lalu kini sudah mulai menampakkan tunas baru.

"Wah, Man. Rumput yang tumbuh kayanya lebih subur dari kacang nya." Imtinan terkekeh

Yah, di beberapa tempat memang nampak rumput sudah mulai tumbuh menyaingi kacang yang kami tanam.

"Iya. Eh.. eh.. Nan, sini deh. Ini apaan." panggilku pada Imtinan.

Nampak oleh mataku sebilah golok berlumur noda darah yang sudah mengering, teronggok di rumput rumput liar dekat dengan lahanku.

"Opo toh Man?" tanya Imtinan ikut berjongkok.

"Ini... Ini.. senjata tajam Man." Imtinan menunjuk arah golok tersebut.

"Iya, aku juga tahu. Tapi kok ada noda darahnya Yo?" bingungku.

"Iya yah man. Eh, tunggu-tunggu kamu mau ngapain?" tanyanya ketika tanganku ingin mengambil golok tersebut.

"Yo mau di ambil,"

"Jangan. Jangan kamu sentuh golok itu man!" titahnya

"Kamu ndak ingat si Gadis kamu dapat sudah ndak ada nyawa di kebun kelapa sawit sebelah sana. Lokasinya loh berdekatan dengan kebun kamu ini." ujarnya

Dibalik Kematian Mereka[Selesai]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora