BAB 4O

5.2K 196 21
                                    

Setelahnya Dellia meletakkan surat itu di atas meja nakas. Ia sengaja menyuruh surat itu di berikan kepada Intan, karena sebelumnya Adam pernah menjemput Dellia di rumah sahabatnya itu. Dellia juga belum cerita dengan Intan dan Billa, ia akan bercerita saat surat cerai itu sampai di tangan Intan.

Sarah dan Alva tiba, mereka membantu Dellia untuk mengurus semua tentang kepulangan Dellia. Setidaknya sekarang Dellia harus bersyukur karena mertuanya adalah orang yang baik.

Rupanya mertuanya sekarang tinggal di sebuah perumahan yang tidak ramai. Jarak rumah mertuanya dengan rumah Adam juga masih tergolong jauh.

Di depan rumah Dellia berdecak kagum, walaupun rumah ini tidak sebesar rumah sebelumnya tapi rumah ini sangat nyaman. Rumah yang berlantai satu tapi sangat luas dengan halaman rumah yang juga luas. Sangat banyak tumbuhan apalagi bunga-bunga yang cantik.

"Aya dan Ayi mana Bu?" tanya Dellia tiba berada di dalam ruang tamu.

"Mereka ke kampus."

Dellia mengangguk. Setelahnya Dellia masuk dengan Sarah, sedangkan Alva sedang mengeluarkan koper Dellia.

"Jadi kamu, mau istirahat ke kamar?" tanya Sarah.

"Nggak Ma, Dellia nonton TV boleh? Soalnya Dellia bosan tidur terus."

Sarah mengangguk dan langsung menghidupkan siaran TV.

"Kalau boleh tau, kamu sama Adam gimana?" Sarah penasaran dengan permasalahan Adam dengan Dellia. Ia tahu karena Dellia yang pergi tanpa Adam sudah membuat Sarah menebak jika hubungan rumah tangga Adam dan Dellia sedang retak.

Bukan tanpa alasan Sarah penasaran, tapi karena masalah ini juga sangat besar kaitannya dengannya dan suaminya.

"Jangan cerita kalau kamu belum siap," sambung Sarah saat melihat wajah Dellia yang sudah murung.

"Dellia mau cerai Ma sama Mas Adam."

Sarah mengangguk, ia tahu dan sangat tahu hal ini akan terjadi. Doa yang Sarah panjatkan sepertinya tidak terkabul, tapi Sarah tahu dari semua masalah ini pasti akan ada hikmahnya dan Allah pasti sudah mempersiapkan yang terbaik.

Dellia melirik Sarah yang tampak biasa saja. "Ma, nggak papa kan?"

"Mama sendiri bingung untuk berkomentar apa. Mama nggak tau dengan jelas permasalahan kalian, tapi Mama hanya bisa berdoa untuk kebahagian kamu dan Adam."

"Apa Adam melakukan hal buruk?" tanya Sarah.

Dellia menggelang pelan. Ini memang sebuah kebohongan, Dellia tidak ingin membongkar aibnya sendiri.

"Syukurlah, jika Adam tidak berbuat yang menyakitkan. Kalau boleh tau yang minta cerai siapa?"

"Adam yang minta cerai Ma, hanya saja sekarang Dellia sadar bahwa dihubungan ini tidak ada yang bisa diperbaiki. Jadi Dellia tidak ingin memperjuangkan hal yang sia-sia."

Sarah hanya mengangguk dan memeluk Dellia erat. Jika saja Dellia yang tidak ingin lagi dengan Adam, Sarah bisa membujuk Dellia. Hanya saja yang meminta cerai adalah Adam, sedangkan Adam saja tidak pernah sekali pun mendengar Sarah.

***

Adam kembali ke rumah sakit dengan keringat yang bercucuran. Adam kepanasan, apalagi tadi ia juga lelah menyetir.

Membutuhkan waktu dua jam hanya untuk membeli sate ini, dan anehnya Adam mau-mau saja di suruh wanita itu. Ia sudah gila bagaimana bisa Adam mau mengikuti keinginan konyol Dellia.

Tiba di dalam ruangan Dellia, Adam terkejut karena ia tidak melihat keberadaan Dellia di dalam kamar. Apa dia ke kamar mandi?

Adam langsung mengecek Dellia ke kamar mandi dan kosong, lalu Adam melihat ke lemari dan ternyata di sana semua baju yang ada sudah tidak ada lagi.

Adam terduduk di samping brankar dengan tangan yang masih memegang bungkusan sate. Ia meletakkan sate itu ke atas brankas samping ranjang. Apa perempuan itu sudah pulang ke rumah tanpa memberi kabar padanya?

Adam meletakkan sate ke atas nakas, tanpa sengaja Adam melirik sebuah catatan.

Adam membaca catatan kecil itu. Ia membaca semua pesan itu dan sedikit terkejut kenapa harus diam-diam. Apa dia kira Adam akan menahan wanita itu? Sungguh pemikiran yang konyol. Buat apa Adam melarang wanita itu pergi? Padahal tidak ada alasan bukan untuk Adam menahan Dellia.

Adam menarik pelan napasnya dan menghembuskan pelan. Lalu Adam menelepon assistennya.

"Segera urusi perceraian saya dengan Dellia."

Setelah itu Adam langsung mematikan sambungan teleponnya.

Sekarang Adam tahu jika ia sudah ditipu. Beraninya wanita itu mempermainkannya. Tidak mau berpikir hal tidak jelas seperti itu, Adam memilih untuk kembali ke Kantor.

***

Adam menatap ke arah pintu dengan pandangan kosong. Ini sudah sebulan Adam tidak pernah bertemu dengan Dellia. Dan hari-harinya terasa sepi. Rasa kesepian sudah Adam rasakan sejak dulu dan Adam sudah terbiasa, hanya saja sekarang terasa sangat sepi.

Ia menghela napas pelan. Adam jenuh, sungguh jenuh dengan perasaan yang tidak jelas. Kenapa pula ia harus memikirkan wanita yang memang sejak dulu tidak pernah ia harapkannya.

Adam menatap tangannya yang terdapat cincin nikah. Memang, Adam tidak pernah melepaskan cincin pernikahan ini. Tanpa sadar ia sudah nyaman menggunakan cincin ini.

"Lo kenapa?" tanya Hito yang tiba-tiba masuk tanpa persetujuan Adam.

"Berani lo masuk ke dalam ruangan tanpa gue izinin!" geram Adam dengan rasa kesal memenuhi jiwanya. Tangan Adam bahkan sudah mengempal siap untuk menghajar Hito.

"Eh tenang dong, gue kan udah ketuk lo aja yang nggak nyaut," balas Hito cepat saat Adam sudah siap-siap melayangkan tinjunya padanya. "Lo aneh gitu aja marah,"

Hito menatap Adam tidak habis pikir. Pria ini memang akhir-akhir ini sering sekali emosian, bahkan Hito pernah melihat beberapa karyawan yang terluka setelah keluar dari ruangan Adam.

"Nah, gue tau penyebab lo begini. Itu artinya lo lagi butuh cinta," sambung Hito lagi.

Adam hanya memutar bola matanya malas.

"Keluar sana!" bentak Adam.

"Selo dong Bos. Gue cuman lagi gabut makanya ke sini. Oh iya lo udah cerai kan, kok map perceraian masih ada di atas meja?" tanya Hito. Ia tidak sengaja melihat map perceraian yang ada di atas meja Adam.

Melihat kediaman Adam, Hito kembali bertanya. "Atau jangan-jangan lo nggak bisa lupain Dellia. Kayaknya lo udah cinta deh sama perempuam itu."

"Keluar lo! Atau mau gue panggil orang buat seret lo?" Sekarang ancaman Adam bukanlah main-main. Adam malas berurusan dengan Hito.

"Oke, oke. Bye," pamit Hito sambil melambaikan tangan dan langsung menghilang dari balik pintu.

Saat pria brengsek itu pergi, Adam langsung membuang map itu kesembarangan arah. Surat itu sudah siap beberapa minggu yang lalu, tapi sampai sekarang Adam belum menandatangani bahkan tidak mengirim ke rumah Intan map itu.

"Sial gue kenapa sih," Adam memukul berulang kali kepalanya. Ia bersumpah tidak pernah merasakan hal aneh seperti ini.

"Bisa gila gue lama-lama," umpat Adam.

***

Wajib votmen ges :)

Bad Husband |END|✓Where stories live. Discover now