BAB 8

4K 167 4
                                    


Dan tepat sekali saat sampai di kampus, semua mahasiswa sudah duduk dengan rapi dengan dosen yang sedang mengajar. Dan ternyata di sana ada Billa yang berdiri di depan kelas dengan wajah yang memucat dan mata yang berkaca-kaca. Sungguh kadang Dellia sangat gemas dengan Billa, karena wanita itu sangat cegeng.

Dellia tidak berani masuk, rasanya sangat segan. Apalagi yang mengajar hari ini adalah Dosen tergalak dan tergeselin siapa lagi kalau bukan Pak Fiki.

"Ngapain kamu berdiri disitu seperti orang bodoh?" tanya Fiki saat menatanya melihat Dellia yang berdiri gelisah di pintu. "Sekarang kamu berdiri di samping dia," tunjuk Fiki tepatnya di samping Billa.

"Kenapa telat?" tanya Pak Fiki dengan wajahnya yang selalu saja tidak ada senyuman atau ekspresi lain. Hal inilah yang membuat Dellia dan teman sekelas mereka sangat segan dengan Dosen yang satu ini.

"Maaf Pak," hanya itu yang bisa diucapkannya. Ia malu jika harus jujur jika telat karena asik menangis.

"Hm, kalian berdua dengar apa yang saya jelasin di papan tulis ini. Setelah itu jelaskan kembali secara singkat apa yang saja jelaskan. Jika tidak bisa kalian bedua tidak boleh duduk sampai jam saya di kelas kalian selesai."

Bella dan Dellia mengangguk paham. Sudahlah pasti kakinya mereka akan sangat pegal.

Setelah satu jam akhirnya Pak Fiki selesai menjelaskan materi dan disitulah Dellia dan Billa menjelaskan materi itu kembali di depan mahasiswa lainnya. Syukurnya mereka bisa dan sudah dipersilahkan duduk.

***

"Kalian kompak banget bisa telat barengan," ucap Intan dengan kekehan diakhri ucapannya itu.

Dellia dan Billa hanya cemberut secara bersamaan. Sekarang jam Pak Fiki sudah selesai dan di kelas hanya ada tinggal beberapa orang saja.

"Kamu kenapa telat Del?" tanya Intan yang duduk di tengah-tengah antara Billa dan Dellia. "kamu kan biasanya nggak pernah telat," sambung Intan lagi.

"Hufft, gara-gara tadi pagi aku nangis," Dellia emang sangat sulit berbohong dengan kedua sehabat terbaiknya ini.

"Kenapa nangis De? Lo kan nggak cegeng kayak Billa," Billa yang di sebut namanya menatap Intan dengan kesal dan cemberut.

"Gemes banget si Bil," Intan mencubit kedua pipi Billa dengan gemas. Pipi berisi dengan semburan merah di pipi Billa membuat siapa aja akan gemas.

"Ih jangan gitu Ntan," Billa melepaskan kedua tangan Intan dari pipi Billa.

"Jadi gimana De, kenapa lo nangis?"

"Gue mau dijodohin," jawab Dellia yang membuat Intan dan Billa memulatkan mata mereka karena sengking terkejutnya.

"Kok bisa?" tanya Billa dan Intan secara bersamaan.

"Sama anak teman Papa aku," jawab Delia lagi. "menurut kalian gimana aku nerima apa nggak?" tanya Dellia sambil memelas di bahu Intan.

"Aku juga bingung De, soalnya aku nggak pernah dijodohin," jawab Intan, ia jadi ikut kasian melihat kondisi sahabatnya.

"Terima aja De, kadang ganteng," jawaban Billa mendapatkan tatapan tajam dari Intan. "Canda De," balas Billa sambil terkekeh kecil.

"Tenang aja De, kamu doa aja sama Allah semoga pilihan kamu nanti nggak bakalan ada penyesalan."

Billa mengangguk setuju atas ucapan Intan barusan. Dellia ikut mengangguk dengan senyuman cerahnya. Setidaknya setelah menceritakan masalahnya, perasaan gelisah Dellia sedikit berkurang.

"Kemarin aku juga ada dengar gosip, katanya kamu sekarang udah pacaran sama Kak Riski ya? Aku nggak nyangka De," ucap Billa. Pertanyaan yang sebenarnya ingin dia ucapkan sedari tadi malam pada Dellia tapi Billa kelupaan.

Intan terkejut mendengar apa yang diucapkan Billa, berhubung Intan tidak masuk kelas kemarin makanya Intan sangat terkejut, ia tidak mengetahui kabar wow ini.

"Kamu yang nyuruh kita buat nggak pacaran, tapi kamu sendiri pacaran," balas Intan lagi, Intan menatap kecewa ke arah Dellia.

"Kalian jangan salah paham, aku nggak pacaran. Kemarin aku nerima karena nggak mau bikin malu Kak Riski. Setelah itu aku bilang kok sama Kak Riski apa yang sebenarnya," jawab Dallia cepat.

"Syukur Deh."

"Oh iya, aku hampis lupa. Kamu Bil kenapa telat? Pasti ada apa-apa nya ni," Intan menatap curiga ke arah Billa. " Atau jangan-jangan lo juga dijodohin?" Intan ikut menatap curiga ke arah Billa.

"Ya enggah la Ntan, ini semua karena tugas makalah semalam yang di kasih sama Pak Fiki," balas Billa. " Dosen itu nggak bakalan terima aku masuk ke kelas dia kalau aku belum nyelesaian tugas itu," sambung Billa lgi.

"Kasian banget kamu Bil," Dellia menatap prihatin ke arah Billa.

"Kok lo sama Pak Fiki kayak dekat gitu sih? Apa-apa pasti ada aja lo berurusan sama dia," ucap Intan.

"Nggak ya. Kami nggak ada apa-apa. Lagi pula ni ya, aku nggak suka sama dia. Dia itu galak," balas Billa yang sekarang berucap dengan nada sekecil mungkin.

"Lo benci?" tanya Intan lagi.

Billa mengangguk semangat.

"Hati-hati, ntar jodoh lagi," sambung Dellia sambil terkekeh.

"Ih nggak mau. Nggak mau sama dia," Billa menatap kedua temannya dengan perasaan campur aduk. Billa tidak akan mau menikah dengan pria galak dan menyeramkan seperti Pak Fiki itu.

***

Billa berjalan seorang diri dikoridor kampus, Dellia dan Intan sudah duluan pulang. Ia emang tidak memberi tau temannya kalau ia mau ketemu dengan Dosen Fiki, bukan tanpa sebab tapi Billa hanya malu jika nanti ia akan menangis setelah keluar dari ruang Dosen.

Tok Tok Tok.

Billa mengetuk pintu ruang khusus Pak Fiki. Suara deheman di dalam membuat Billa berani untuk masuk ke dalam ruangan dingin ini.

"Ini Pak tugasnya," dengan tangan bergetar Billa manaruh berkas itu tepat di atas meja Fiki. Billa semakin dibuat jantungan, saat Fiki hanya fokus terhadap berkasnya dan tidak memperdulikan Billa.

"Hm, Pak," panggil Billa lagi dengan canggung.

"Ya," jawab Fiki dan mendonggak menatap Billa.

Gila, kok ia jadi salting sendiri melihat bertapa gantengnya Pak Fiki. Billa langsung menggeleng dengan cepat, saat sadar ia sudah memuji orang yang paling Billa benci.

"Kok merah?" tanya Fiki membuat Billa mangernyit bingung. Lalu Billa langsung tersadar, dan langsung memegang kedua pipinya. Selalu mengini, pipi ini selalu memerah di waktu yang tidak pas. Kalau ginikan Billa jadi malu.

"Gatal Pak?" Billa mengaruk pipinya yang memerah dengan malu, padahal pipinya tidak gatal sama sekali. "Itu Pak diperiksa," Bella menunjuk makalah yang ia buat sampai bergadang.

"Siapa kamu sampai nyuruh-nyuruh saya?" Billa langsung terdiam kaku.

"Yasudah kalau gitu saya permisi Pak," Billa menunduk kecil.

"Siapa nyuruh kamu keluar?" langkah Billa yang ingin keluar dari ruangan ini langsung terhenti. Apa yang harus dilakukan sekarang, Billa menarik nafasnya pelan lalu menghembuskan nafasnya pelan. Ia mencoba untuk bersabar. Sungguh berhadapan langsung dengan Dosen yang satu ini benar-benar hal yang sial.

***

Votmen ges :)

Bad Husband |END|✓Where stories live. Discover now