Bab 25

3 0 0
                                    


Uji praktik selesai. Dari 36 kelompok yang berpartisipasi, kelompok yang terdiri dari murid-murid Zen Takizawa menduduki posisi pertama. Tak ada yang mampu menyaingi mereka. Saito juga semakin menjadi bahan pembicaraan gadis-gadis cantik di akademi. Bahkan beberapa gadis terang-terangan mendekatinya.

Semua guru pun tahu, bahwa kelompok yang berhasil menduduki posisi pertama pada uji praktik strategi kali ini adalah murid-murid yang diasuh oleh Zen Takizawa. Banyak yang menyanjung dan banyak juga yang mencibir. Beberapa guru mengasihani anak-anak yang diasuh oleh Zen, karena mereka pasti akan mendapatkan pelajaran yang begitu menyiksa, baik penyiksaan batin maupun mental. Zen lagi-lagi tidak memedulikan hal itu.

"Zen Sensei!"

Dari kejauhan, Raiki berteriak dan melambaikan tangan ke arah Zen yang baru saja turun dari lantai tiga. Bocah itu berlari dengan riang mendekati sang guru. Zen sampai terkekeh melihat aksi hebohnya.

"Anakmu, Zen," ujar Kaori yang juga ikut terkekeh melihat aksi Raiki. "Sana, gih! Luangin waktu dulu buat mereka. Aku juga mau menyapa murid-muridku."

Zen menoleh, menatap wanita di sampingnya. Seulas senyum tipis terbit. Ia mengangguk dan Kaori pun berbalik arah meninggalkannya. Raiki yang sudah mendekat, langsung melompat memeluk Zen. Sang guru secara refleks menangkap tubuh kecilnya. Aneh, Zen sama sekali tidak terganggu dengan tingkah kurang ajar bocah ini. Padahal, ia belum begitu akrab dengan muridnya.

"Sensei! Apa kau melihatnya?! Kami benar-benar hebat, bukan?! Ini semua rencana Kak Saito! Aku tak menyangka dia akan mengeluarkan sihir sehebat itu!"

Lagi, Zen terkekeh mendengarnya. Bocah ini terlalu heboh dan bersemangat. "Ya. Aku melihatnya. Kerja bagus. Kalian sudah berusaha dengan baik." Zen menepuk pelan punggung Raiki. Seulas senyum tipis terbit di wajahnya.

Ketiga muridnya yang lain juga mendekat ke arahnya. Wajah Endo terlihat pucat karena melihat ketidaksopanan Raiki. Ia takut bocah itu akan merasakan kematian, seperti yang ia rasakan saat uji kelayakan tempo hari.

"Raiki, apa yang kau lakukan?! Ini di akademi! Jangan bersikap tidak sopan kepada Sensei!" Endo dengan cepat menarik Raiki dari tubuh sang guru dan menurunkannya ke lantai.

Raiki merengut. Wajah gembiranya sirna karena Endo mengganggunya. "Aku cuma memeluk Sensei. Apakah itu tidak sopan? Beliau sudah kuanggap seperti Ayahku sendiri. Sensei, maaf atas ketidaksopananku." Dengan lesu bocah itu membungkuk hormat pada sang guru.

"Sudahlah. Tak masalah. Endo, Saito, Sayaka. Kerja bagus. Aku tidak menyangka kalian bisa membuatku berdiri takjub seperti tadi." 

Ketiganya tersenyum lebar kala mendapat pujian sang guru. Mereka membungkuk kompak sembari mengucapkan terima kasih.

"Ini semua berkat, Sensei, karena Anda telah mempercayai saya untuk mempelajari sihir itu. Sekali lagi, terima kasih, Sensei." Saito kembali membungkuk hormat kepada sang guru.

Zen menepuk pundak Saito seraya berkata, "Teruslah berkembang dengan baik."

"Baik, Sensei." Saito menjawab dengan tegas disertai senyum lebar di wajah tampannya.

"Sayaka, jenis sihir apa yang kau gunakan untuk menguatkan energi sihir Endo?" tanya Zen kemudian.

"Sihir penguatan, Sensei. Stabilizer no Maho. Dapat meningkat energi sihir ke tahap yang lebih tinggi. Ketika saya menggunakannya pada manusia yang memiliki energi sihir bertekanan tinggi dan menengah, maka energi sihir mereka bisa bertambah berkali-kali lipat lebih besar." Sayaka menjelaskan panjang lebar. Gadis itu menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga.

"Sihir yang benar-benar berguna. Lalu, Endo. Apa yang kau rasa ketika sihir itu memasuki tubuhmu?" Zen menghela napas singkat seraya melipat kedua tangan di bawah dadanya.

"Awalnya terasa aneh, Sensei. Organ tubuh saya seperti dibekukan. Namun, saya juga merasa energi sihir di dalam tubuh terasa meluap dan lebih besar dari biasanya," jawab Endo, sembari mengingat-ingat sensasi yang ia dapatkan ketika Sayaka menggunakan sihir itu padanya. 

"Sayaka, kontrol sihirmu, agar tidak terlalu berlebihan dalam penggunaannya. Dari reaksi yang Endo katakan, sihirmu mungkin mampu meledakan seseorang, karena energi sihir yang begitu berlebihan."

"Baik, Sensei. Saya akan berusaha keras dalam mengendalikannya."

Setelah mengevaluasi secara singkat, Zen pun mengajak keempat muridnya makan bersama di kedai makanan yang berjarak satu kilometer dari lokasi akademi.

***

Setelah menyapa dan menyemangati murid-muridnya, Kaori bergegas menuju ruang kepala akademi. Saat itu lingkungan akademi sudah tampak lengang, karena beberapa murid dan guru sudah pulang. Hawa dingin menyapu kulit wajah Kaori ketika wanita itu melintas di depan sebuah gudang tak terpakai. Pintu ruangan itu sedikit terbuka, hingga menarik atensi Kaori untuk melihatnya.

Kaori pun menyipitkan kedua matanya, kala melihat sesuatu yang tampak bersinar di dalam gudang gelap itu. Tangannya secara spontan membuka lebar pintu gudang dan melangkah mendekati sumber cahaya. Saat tiba di depan cahaya itu, pintu tiba-tiba tertutup tanpa menimbulkan suara.

Wanita itu tidak memedulikan pintu yang tertutup, ia malah berjongkok di hadapan cahaya putih itu. Kaori sama sekali tidak merasakan adanya energi sihir dari cahaya tersebut. Namun, semakin lama ia memperhatikannya, cahaya itu semakin terang, hingga membuat Kaori dapat melihat keseluruhan dari isi gudang ini.

Di sudut ruangan ada rak buku yang sudah tampak berdebu. Salah satu buku yang berjejer rapi di dalam rak tersebut, memancarkan cahaya keemasan yang begitu terang. Di saat rasa bingung menguasai diri, Kaori pun memberanikan dirinya untuk mendekati, dan mengambil buku yang bercahaya itu.

Kaori meniup pelan permukaan buku. Debu segera berterbangan ke udara. Sampul yang awalnya tak terlihat karena debu, perlahan terlihat permukaannya.

"Kepala naga?" gumam Kaori sembari menyentuh gambar di tengah sampul buku.

Kaori pun membuka buku itu dengan perlahan. Aksara-aksara kuno tertulis dengan rapi di lembar pertama. Di bagian atas lembar pertama, Kaori masih bisa membacanya.

"Hukum Ruang dan Waktu." Tepat setelah Kaori membacanya, cahaya yang memancar pada buku itu lenyap tak meninggalkan jejak.

Cahaya yang menerangi gudang ini juga perlahan meredup. Kaori pun menutup buku tersebut dan membawanya, lalu bergegas meninggalkan gudang. Tepat saat menutup pintu dari luar, rak buku di dalam gudang pun menghilang.

"Buku apa ini sebenarnya? Apakah ini kitab?" Kaori melupakan tujuan awalnya untuk ke ruang kepala akademi. Wanita itu malah melangkah meninggalkan bangunan besar itu.

Saat tiba di gerbang akademi, ia berusaha untuk membuka buku yang berada di tangannya. Namun, buku itu sama sekali tidak bisa terbuka lagi dan tertutup dengan rapat. Kaori mengernyitkan dahi dan merasa penasaran.

"Aneh. Mengapa tidak bisa dibuka lagi?"

Mengabaikan segala rasa penasarannya, Kaori pun kembali melangkah menuju bangunan asrama. Namun, sebelum wanita itu berhasil tiba di bangunan asrama, gempa hebat terjadi. Para penduduk sekitar berlari tunggang-langgang meninggalkan rumah mereka.

"Apa yang terjadi? Ini ... ini bukan gempa biasa. Energi sihir bertekanan tinggi menyebar di mana-mana."

Kaori terduduk di permukaan tanah sangking dahsyatnya guncangan yang terjadi. Tanah semakin bergetar, hingga menimbulkan retakan yang menjalar. Jantung Kaori berdetak kencang, segera ia bangkit dan berusaha tetap tenang. Wanita itu menuntun para penduduk menuju tempat evakuasi di ruang bawah tanah.

Jerit ketakutan para penduduk menggema di mana-mana. Getaran tanah semakin dahsyat. Angin berhembus begitu kencang.  Rumah-rumah penduduk yang terbuat dari kayu, ambruk tanpa sisa. Sementara bangunan-bangunan yang terbuat dari bata, perlahan mengalami retakan di sana-sini.

"Zen, kumohon. Datang dan selamatkan kami semua. Ini bukan gempa bisa. Ada yang bergerak di dalam tanah." Kaori bergumam di dalam hatinya dengan tangan gemetar.

CROWN FOR MY ANGELWhere stories live. Discover now