APPARENT DEATH

9 1 0
                                    

Di keheningan malam, suasana dingin sangatlah mencekam jiwa. Bulu kudu meremang menemani dua orang gadis berusia kepala dua. Ya, Denada dan Sella, sengaja mengajak rekan satu kerjanya di rumah sakit untuk menemani malam itu.

Dari atas balkon lantai tiga, ia menatap tajam bulan bercahaya terang. Menusuk kalbu dan mengundang rasa kantuk yang menyergap begitu saja, seiring berjalannya #waktu. Di sana, di taman dekat pintu gerbang. Muncul sosok berwarna putih dengan penampilan yang tak lazim ia lihat.

Seraya membulatkan mata greget dan menatap mantap ke lokasi tersebut. Dalam samar ia membuka kacamatanya dan menghapus dengan tisu berwarna putih, barang kali ada debu membandel sehingga membuat penglihatan sedikit terganggu.

Memekik gelisah setelah memakai kacamata berbentuk lingkaran seperti semula, berbusana serba putih sosok itu berjalan melintasi ayunan, beberapa bunga, dan berhenti seketika di depan pintu.

Denada berlari menuju kamarnya, di sana ada Sella yang asyik bermain ponsel tanpa henti tersenyum sendiri.

Gadis yang mengikat rambutnya dengan tali rafia berwarna putih menyentuh sahabatnya. "Sell, Sella ...."

"Hmmm ... apaan?" tanyanya singkat.

Napas ngos-ngosan membuat gadis bermata kecokelatan semakin gemetar untuk menjelaskan.

"Di situ! Di situ!" ulangnya beberapa kali dengan kata yang terbata-bata.

Lawan bicara hanya mengangguk ringan. "Iya ... di situ ada kursi, kenapa emang?" tanyanya lagi.

"Bukan itu maksud gue, Sell ...."

"Lantas?" lanjutnya dengan singkat.

Menelan ludah dan menarik napas panjang. Seperti tengah kepanasan dengan keringat yang mengalir deras begitu saja, ia pun merebut ponsel gadis bercelana pendek yang memakai arloji berwarna hitam di tangan kirinya.

"Gue lihat hantunya Reka."

Ia pun berteriak histeris. "Apa? Reka jadi hantu maksud lu? Di mana?" dia nanya sangat serius.

Sella segera mengambil kacamata di atas meja tepat di samping cermin berbentuk segitiga. Malam itu, tepat pukul 24:00. Mereka berdua seperti tengah diteror sebuah penampakan yang aneh. Untuk memastikan, Sella pun melompat dari kasur dan berjalan menuju pintu.

Sementara Dena menutup wajahnya dengan selimut berwarna putih.

"Yah! Nih, Anak. Tadi bilang ada hantunya Reka, malah sekarang enggak mau nemani gue," omelnya sendiri.

Putar balik dan menarik selimut tersebut, ia pun sedikit menggumam. "Gimana, sih. Tadi katanya lu lihat hantunya Reka. Sekarang malah takut, bukankah dia Adik lu?" omelnya lagi.

"Gue takut, sumpah! Lu aja, deh, yang keluar. Gue nunggu di sini." Dena mengusir dengan wajah yang masih mengintip di sudut selimut.

Menghela napas panjang. "Oke! Kalau hantunya ke sini, siap-siap lu yang bakal ditangkap."

Seketika gadis berambut panjang itu melompat dari kasur, ia pun menatap greget lawan bicara. "Oh, enggak dong, gue enggak takut. Gue ikut lu ke bawah." Ia menjeda sejenak. "Tapi ... jangan tinggalin gue, ya," lanjutnya dengan menggandeng tangan kiri gadis bertubuh mungil.

Mereka pun turun tangga dengan sangat hati-hati, rumah yang bercahaya sangat remang—menambah ketakutan yang muncul dari keduanya, berjalan dan sampailah di depan pintu dengan horden berwarna hijau lumut.

Suara pintu terbuka seperti film horor di bioskop. Menapakkan kedua kaki menuju luar ruangan, seketika petir datang tepat di hadapan mereka.

"Astaga! Tuh, 'kan ... gue bilang juga apa, pasti hantunya Reka bangkit lagi, deh."

Sementara Sella menutup mulut sahabatnya dengan tangan kiri.

Seketika muncul kembali sosok yang mereka cari dari tadi, Dena berteriak dan kembali masuk ke dalam rumah.

"Hantu ....!"

Sosok berbusana serba putih tepan di hadapan gadis mungil bernama—Sella. Ia berpura-pura menatap ke arah samping kanan dan kiri, seketika ia kembali masuk dengan langkah biasa aja.

"Enggak ada, kok, hantunya. Lu aja kali yang halu terlalu jauh."

"Ah, masa lu enggak lihat hantunya Reka. Yang bener lu?" tanya Dena lagi.

"Enggak ada, kok. Gue enggak lihat."

Lalu, ia membatin. 'Itu yang ada di hadapan gue tadi hantunya Reka bukan, sih. Sebenarnya gue lihat, tapi pura-pura enggak lihat aja. Soalnya gue juga takut.'

Seraya menutup pintu dengan horden di atasnya, mereka masuk kembali ke dalam kamar di lantai dua. Seraya merumuskan pertanyaan yang datang bertubi-tubi muncul dari otaknya. Ia pun saling tukar tatap ke arah sahabat yang ada di samping sambil menutup selimut berwarna putih.

Ketukan pintu terdengar tiga kali dari luar kamar.

Dena menyiku sahabatnya. "Sell, itu siapa yang ngetuk pintu keras banget?" ia nanya seraya mengernyitkan keningnya.

"Udah, ah, enggak usah dipikirin. Barang kali itu hanya kucing yang lagi lewat."

Kedua bola mata kembali terpejam, tak lama setelahnya pintu terketuk lagi.

Gadis berambut panjang yang selalu mengikat dengan tali rafia berwarna kuning kembali membuka selimut. "Sell ... itu suaranya semakin dekat tau."

"Kok, aneh, ya."

"Aneh gimana?" tanyanya lagi.

"Ya ... aneh aja, kalau setan enggak mungkin ketuk pintu. Kenapa gak langsung masuk aja."

Saling tukar tatap, penasaran tumbuh dan memuncak dari cewek mungil berkulit putih. Ia pun melompat dari kasur sambil menoleh kiri dan kanan. Sementara Dena mengikuti dari belakang tubuhnya.

Ia pun berucap. "Sell, kita tidur aja, yuk. Entar hantunya datang."

"Jangan berisik dong, gue penasaran sumpah!" tukasnya lagi.

Berjalan lebih ringan, mereka pun sampai di depan pintu kamar. Tangan kanan membuka pintu dan menatap tajam ke arah sosok berpakaian putih di hadapan mereka.

"Astaga!" teriak Dena tertahan. "Tuh, 'kan, gue bilang juga apa, Sell. Dia ada di depan kita," celetuk wanita bermata kecokelatan.

Tanpa ada kata, mereka terpaku menatap siluet wajah tertutup rambut berwarna hitam. Sangat menyeramkan dan wajah wanita itu sangat pucat.

"Kalian kenapa?" tanya sosok wanita di hadapan mereka.

"Lu, siapa?" respons Dena ringan.

"Gue Reka."

Kedua gadis itu menelan ludah secara serempak.

Sella menyiku gadis di sampingnya. "Dia benar Reka bukan, sih."

"Enggak tahu gue! Bukankah ... Reka udah meninggal dunia."

Seketika gadis di depan mata berujar. "Gue belum meninggal." Jeda sejenak. "Coba lihat kaki gue."

Mereka mengikuti ucapan lawan bicara.

"Tuh! Kaki gue nyentuh lantai, 'kan?" balasnya dengan mengedarkan senyum semringah.

Sella dan Dena secara serempak saling tatap.

Gadis bermata kecokelatan memukul pipi Reka perlahan. Lalu, ia meringis. "Auch ... sakit tau."

"Lu benar-benar masih hidup? Lu enggak jadi mati?"

Dena pun menggandeng erat tangan adik angkatnya, mengajak untuk masuk ke dalam ruang kamar dan berbincang seputar kejadian beberapa hari lalu yang telah menimpahnya. Sangat mengegerkan awak media, apalagi setelah kejadian viral kalau jasad dari adik angkatnya itu sempat hilang dari ruang jenazah.

Selesai mandi, Reka menatap tajam kedua sahabatnya dengan sangat hati-hati.

CROWN FOR MY ANGELWhere stories live. Discover now