STRUGGLE BY CUTTING BOTH WINGS

2 1 0
                                    

1

Di sebuah balkon rumah, tepat di tengah hutan Akasia. Perdebatan di antara kedua sepasang sejoli semakin bringas. Seperti bersiteru hebat entah apa sebabnya, Reka berdiri di sudut balkon sebelah kanan dan sementara Reff berdiri di sebelah kiri.

Sesekali saling tukar tatap karena Reka tengah mendapati sebuah benda kebiruan yang melekat di pemuda istana langit. Ya, tepat di bagian pundak Reff yang telah terpasang chips. Guna chips itu adalah sebagai pertanda di mana Reff berada dan harus segera meninggalkan bumi manusia.

Lalu, pemuda bermata kebiruan itu pun berjalan mendekati wanita yang sedang meneteskan air matanya. Pemasangan chips itu dilakukan adalah semata-mata untuk membebaskannya pergi dari istana, agar keadaan Reff dapat terpantau dari raja langit.

Pemuda bermata kebiruan itu menyentuh pipi wanita yang paling ia cintai, lalu ia berkata. "Rek, maafin saya ...."

"Tidak perlu kamu meminta maaf!" hardik Reka dengan menepis tangan yang kala itu mendarat di pipinya.

Seketika pemuda bermahkota kebiruan itu menatap langit, ia kembali memutar perjanjian sebelum pergi dari istana dengan pemasangan sebuah chips di pundaknya. Reff pun kembali mencoba merayu wanita yang ada di sampingnya dengan penuh hati-hati.

"Rek." Pemuda bermata kebiruan itu menggenggam tangan Reka erat. Lalu, "saya tidak akan kembali ke istana, karena saya sangat mencintaimu."

"Reff! Tolong, jangan berikan harapan palsu pada saya. Mungkin benar selama ini yang saya rasakan, kalau kita beda alam dan tak mungkin bisa bersama selamanya."

"Enggak! Kamu enggak boleh berbicara seperti itu, kita ditakdirkan bersama," lanjut Reff.

"Kalau memang kita ditakdirkan bersama. Apa buktinya? Mana, Reff? Mana!" bentak Reka bertubi-tubi.

Dengan langkah lebar, pemuda bermata kebiruan itu melangkah dengan sangat kencang menuju sebuah dapur. Ia tak memperdulikan benda yang ada di hadapannya, menabrak semua yang kala itu menjadi penghalang langkahnya untuk pergi ke suatu tempat.

Reff pun sampai di dapur rumah. Sementara Reka, masih menangisi semua yang telah terjadi malam itu. Ia berteriak seraya membuang semua emosi yang akan menuntunnya ke jalan perpisahan.

Pemuda bermata kebiruan dengan mahkota yang muncul ketika emosi sedang berada di puncak murka. Ia pun mengambil pisau tajam yang ia dapatkan di lemari penyimpanan. Membawa pisau itu dan menaiki anak tangga lantai dua. Ya, untuk menemui gadis yang sedang diruntuk dengan kesedihan.

Sampailah Reff di depan gadis berambut pendek yang sedang menatap langit sebagai tempat di mana pemuda bermahkota itu berasal. Sampailah ia di balkon rumah lantai dua, di tangan kiri ia menggenggam sebuah pisau tajam dan menatap girang wanita di hadapannya.

Seketika Reka mendekati Reff yang sedang membawa pisau di tangannya. "Reff ... apa yang akan kamu lakukan?" tanya Reka dengan nada suara histeris, kemudian. "Jangan sakiti dirimu seperti itu, Reff."

"Mungkin ini adalah pembuktian dari sebuah kepastian yang kamu inginkan."

Reka mendongak, 'kan kepalanya menuju pemuda yang sedang menarik pisau itu tiga puluh sentimeter dari tubuhnya.

"Reff ... maafkan saya, jangan sakiti kamu. Jika itu terjadi, saya tidak akan memaafkan diri saya sendiri."

Tanpa menggubris sedikit pun perkataan dari lawan bicara, Reff membentang kedua sayapnya lebar-lebar. Gadis berambut pendek itu memeluk pemuda yang paling ia cintai. Tangisan pecah di dada putra mahkota langit.

"Reff ... jangan lakukan apa pun," rengek Reka seketika.

Lalu, Reff pun memotong sayapnya sebelah kiri dengan menggunakan pisau tajam yang saat itu ia pegang.

Kesakitan luar biasa ia rasakan pada malam hari yang ditemani dengan cahaya bintang menghias langit cerah. Meringis dan merasakan seperti nyawanya hilang separuh.

"Ach ...."

Teriakan Reff membawa cucuran darah merah mengenai wajah dari kekasihnya. Reka pun tak mampu membendung emosinya saat itu. Kini, ia melihat dengan kedua bola matanya. Bahwa perjuangan cinta Reff bukanlah main-main. Setelah sayap sebelah kiri terjatuh dan patah, Reff kembali memotong sayapnya sebelah kanan.

Cucuran darah kembali membasahi tubuh kekasihnya yang saat itu memeluk tubuh Reff dengan sangat erat. Sebuah saksi perjuangan cinta dari pemuda putra kerajaan langit. Takdir dan logika mampu ia tembus dengan sebuah perjuangan cinta.

Reka pun menggelengkan kepalanya seraya mendongak menuju wajah kekasihnya. Ia tak habis pikir, kalau perjuangan cinta Reff akan sedemikian padanya.

Lalu, Reff mengedarkan tawa kecil pada Reka. "Rek, apakah kamu sudah melihat perjuangan saya?" tanyanya. "Sejak saat ini, saya tidak akan bisa kembali ke istana langit lagi. Tetapi ... kamu harus janji, apa pun yang terjadi, jangan pernah tinggalkan saya."

Reka tak mampu membuka mulutnya, ia menagisi apa yang telah terlihat oleh kedua bola mata. Tangisan pecah di dada pemuda yang paling ia cintai. Kini, Reff seutuhnya menjadi manusia seperti yang Reka inginkan.

Akan tetapi, efek dari pemotongan kedua sayap itu membuat Reff sangat lemas dan tak memiliki kekuatan apa pun untuk bertahan. Mahkota berwarna kebiruan di atas kepalanya seketika pecah berkeping-keping.

Partikel pecahan mahkota itu mengenai tubuh Reka yang akhirnya berubah menjadi sebuah debu berwarna biru. Lima menit peristiwa pemotongan sayap, Reff pun lemah tak berdaya dan akhirnya pingsan bersama cucuran darah yang masih berserak di atas lantai balkon.

"Reff, bangun, Reff." Gadis berbandana merah itu pun sangat histeris dan tak mampu menahan air matanya, lalu. "Reff ... maafkan saya, please jangan tinggalin saya sendirian di bumi ini."

Kekesalan datang begitu saja menghampirinya. Darah dari pemuda yang paling ia cintai membasuh tubuhnya hingga tak ada lagi ruang untuknya menepis kekecewaan malam itu.

Dari unjung pintu, Denada dan Sella yang sengaja datang tuk berkunjung telah tiba. Melihat darah yang mengalir hingga membasahi satu ruang kamar, membuat Denada juga meneteskan air mata. Jordan pun menatap lirih ke depan gadis yang diruntuk air mata.

Mereka bertiga tak mampu berkata-kata. Setelah melihat sayap putih yang telah terpotong dengan lumuran darah, ketiga dari sahabat gadis berbandana merah itu berjalan menelusuri kamar. Melangkah dengan penuh hati-hati dan mendekat ke tubuh pemuda yang telah terluka, lemah tak berdaya.

Denada menyentuh pundak adik angkatnya. "Rek, apa yang terjadi padanya." Seketika tangan kanan Denada menyentuh kening pemuda yang seperti tak bernyawa itu.

Reka pun tak mampu berkata apa-apa, ia memeluk sang kakak dan menengis histeris.

"Semua salah gue, Den ... semua salah gue."

Denada pun mengelus pundak adik angkatnya. "Emang apa yang kamu lakukan?" tanyanya.

"Kalau saja gue enggak maksa Reff untuk memberikan sebuah kepastian, pasti semua enggak bakal terjadi."

Dari ujung balkon, Sella berucap lirih seraya meneteskan air mata. "Rek, sudahlah. Mungkin ini semua takdir."

Sementara Jordan juga angkat bicara prihal perjuangan. "Bagaimanapun juga, lu tetap salah Rek. Tak seharusnya ia lakukan ini untuk menunjukkan kalau ia benar mencintai lu. Apakah lu tidak merasakan apa yang ia rasakan."

Beberapa pendapat terlontar dari jiwa manusia yang memiliki sifat yang berbeda. Kini, Reka hanya mampu menangisi apa yang telah terjadi.

CROWN FOR MY ANGELWhere stories live. Discover now