EXILED BY LIFE

3 1 0
                                    

1

Menangisi segalanya yang terjadi hari ini, seakan air mata tak mampu untuk bersahabat kepada gadis berbandana merah yang sedang diruntuk kepunagan badai cobaan. Masalah datang tanpa mau menyingsing dari kehidupan, alam saja mau mengganti waktu hingga bertemunya tiga kejadian di semesta, yaitu; pagi, siang dan malam.

Naif menjalani hidup dengan penuh kesengsaraan, bagai berjalan di atas bara tanpa alas kaki. #Jauh dari kata sempurna. Begitulah yang tengah Reka rasakan saat ini, rasa panas bak bara menerpa jiwa yang lara, membuat gadis berbandana merah selalu merenungi kehidupannya.

Dari belakang seseorang sedang berjalan, tapakan ringan tengah menuju gadis itu seketika. "Rek ... kita sarapan pagi, yuk. Dari kemarin lu enggak memakan apa pun."

Reka menoleh ke belakang seketika. Lalu, ia membuang kembali tatapan itu menuju sebuah bangunan tinggi yang sejejar dengan hotel saat ini menjadi pondasinya untuk menjauh dari awak media.

"Den, gue mau tanya sama lu. Akan tetapi, lu jawab sejujur-jujurnya."

Dena pun menarik napas panjang. "Iya, Rek. Gue akan mencoba menjawab apa yang lu tanya."

"Kenapa sih, lu bisa bahagia banget dengan Jordan? Sementara gue, harus yang mengalami semua kepahitan ini. Apakah itu adalah bentuk dari keadilan?" tanya Reka secara bertubi-tubi. Lalu, ia menggeser posisi duduknya agar Dena bisa bersanding di sebelah kanan.

Dari samping, Dena pun berkata. "Rek, hidup ini enggak mudah. Tidak seperti apa yang lu bayangkan ketika gue bisa menjalani hubungan yang baik-baik saja. Lu lupa, ketika hubungan gue enggak direstui oleh orang tua—Jordan?"

Sontak wanita berbandana merah itu menatap mantap lawan bicara dari samping kanan.

"Den, terima kasih. Lu uda ada buat gue, apa pun yang sedang terjadi."

Suasana menjadi hening, kedua gadis itu pun memutuskan untuk keluar dari hotel. Mereka kembali membuka pintu mobil dan melaju ke suatu tempat ketika dulu Denada menyendiri karena sebuah masalah.

Tepat di tengah hutan Akasia. Terletak jauh dari pusat kota, pondok kecil yang menjadi sasaran di kala badai cobaan melanda. Sesampainya di pondok itu, Dena dan Reka memasuki ruangan yang tak terurus lagi.

Tembok yang sudah kusam karena sudah hampir tiga tahun tidak disinggahi. Reka membuka pintu dengan perlahan dan mereka berdua duduk di sebuah ruang tamu.

"Den, gue ingin menenangkan diri sendiri di sini," tukas Reka seraya meneteskan air mata.

"Tapi, Rek ... lu enggak bisa hidup sendirian di sini."

"Gue mencoba untuk bisa bertahan dalam masalah-masalah ini. Lu masuk kerja, Den. Banyak pasien yang harus diurus di rumah sakit," lanjut Reka lagi.

"Yakin?"

Lawan bicara hanya mengangguk dua kali.

"Oke, gue akan pergi dari sini." Denada memukul pundak adik angkatnya dengan perlahan. "Jaga diri lu, kalau ada apa-apa hubungi gue secepatnya."

Tanpa balas kata, Dena pun pergi begitu saja dengan meninggalkan adik angkatnya di sebuah pondok milik keluarga yang ada di tengah hutan.

Ia pun bergegas pergi dengan cepat. Takutnya, bakal ada yang melihat Reka tengah bersembunyi di pondok tersebut.

3

Malam telah tiba. Keadaan sepertinya telah membaik setelah hampir satu minggu ia tinggalkan. Tepat di depan rumah kontrakan, Denada pun membuka pintu seraya memasuki ruangan yang paling ia rindukan.

Menoleh kanan dan kiri seraya membanting tubuh di atas sofa ruang tamu. Hampir lima menit merenung sendirian, suara terdengar dari balik pintu. Ketukan tiga kali secara bersamaan, membuat Dena pun beranjak dari kursi sofa dan membuka pintu tersebut.

Tak disangka, air mata turut ambil andil dalam kehidupannya yang penuh dengan masalah. Setelah pintu terbuka, rupanya—Sella—sahabat sejatinya sedang datang bertamu.

Sella pun menatap greget. Lalu, Denada memeluk tubuh gadis betubuh mungil yang sedang berdiri di hadapannya. Dengan isak tangis tersedu-sedu, membuat gadis berbandana itu menghabiskan tangisannya di pundak.

Menatap ponsel di atas kursi, seraya memainkan ponsel dan membaca sekilas artikel yang sedang viral pagi ini.

Tiba-tiba, gadis berbandana kuning itu terkejut dengan suara ketukan pintu sangat keras dari luar ruang praktikumnya. Ia pun bergegas keluar untuk memastikan, siapa gerangan pasien yang datang sudah sore, sementara untuk penerimaan pasien sebentar lagi akan ditutup.

Akan tetapi ia tak mau mengecewakan adik angkatnya yang telah berpesan untuk menghormati pasien apa pun keadaannya. Lalu, gadis bermata kecokelatan bernama—Denada sampai di depan pintu. Ia membuka perlahan dan mendapati sebuah sosok berjubah hitam ada di hadapannya.

"Selamat sore, ada yang bisa saya bantu," ucap Dena dengan menatap girang pasien yang telah menutup wajahnya dengan jubah berwarna hitam.

Tanpa balas kata, pasien pun masuk ke dalam ruang praktikum tanpa dipersilahkan. Ia duduk seketika di bangku yang biasa para pengunjung untuk menceritakan keluhannya. Denada pun mengambil napas panjang dan terheran di depan pintu.

Kemudian, ia membatin. 'Ini siapa, ya? Kok, sangat mencurigakan seperti itu.'

Dena duduk di bangkunya dan menatap takut orang yang ada di hadapan.

"Maaf, ada yang bisa saya bantu," kata Dena sambil meletakkan ujung pulpen di pinggir mulut.

"Saya, butuh bantuan anda."

"Ya, saya siap membantu jika itu memang jalur saya."

Jeda sejenak, sepertinya pasien sedang berpikir.

"Saya merasa depresi, karena saya mencintai orang yang berbeda alam dengan saya. Apa anda bisa memberikan solusi untuk saya?" tanyanya. Seketika Denada terdiam seribu bahasa.

Selang beberapa menit, gadis berprofesi sebagai psikolog itu pun memutar kembali kata-kata yang tengah pasien ucapkan tadi.

Lalu, ia mengulang. "Maksud anda, berbeda alam bagaimana? Saya kurang mengerti dengan ucapan itu."

"Maaf, kalau saya tidak bisa mendapatkan solusi apa-apa di sini," pungkasnya.

Pasien tersebut bangkit dari tempat duduk dan melangkah pergi, Dena pun berdiri juga dan mengejar pasien itu. Dalam hitungan detik, pasien berjubah hitam tak lagi ada di sekitar rumah sakit.

Menoleh kanan dan kiri, gadis berbandana kuning itu dipukul seseorang dari belakang. "Den! Lu ngapain masih di sini? Seperti nyari sesorang," celetuk Sella dengan mengernyitkan kedua alis.

Dena pun menarik tangan sahabatnya untuk memasuki ruangan. Setelah Sella duduk di bangku pasien, dari depan gadis bermata kecokelatan menarik napas panjang.

"Sell, lu tadi melihat seorang pemuda berjubah hitam melintas di area ruangan ICU?" jeda sejenak, lalu. "Kurang lebih tingginya segini," lanjut Dena dengan memberikan suatu ukuran tinggi pemuda aneh itu.

"Perasaan gue baru keluar dari ruang ICU, enggak ada siapa-siapa. Lu kurang tidur kali, Den," tukasnya hingga membuat Denada mengganti posisi duduk.

"Ah, masa sih? Perasaan gue melihat pakai bola mata gue sendiri, enggak mungkin salah," timpal Dena lagi.

"Den ... gue enggak lihat siapa pun di koridor dan ruangan ICU. Jangan-jangan." Sella menggantung ucapannya.

Seketika Dena menyambar. "Jangan-jangan apa, Sell?"

"Itu hantu!"

"Ah, ngaco lu. Kita pulang aja yuk, lagian jam kerja sudah habis dari tadi," ajak Dena sambil menenteng berkasnya.

"Oke ...."

CROWN FOR MY ANGELWhere stories live. Discover now