LOST COODS

10 2 0
                                    

Menelusuri semua ruangan yang ada dalam sebuah rumah kontrakan, tak sedikit pun suara terdengar dari telinga gadis yang berprofesi sebagai tenaga medis rumah sakit. Tak seperti biasanya, canda yang setiap hari ia lakukan bersama adik angkatnya di kediaman. Kini, musnah setelah lebih dari dua puluh empat jam kepergian saudaranya itu.

Air mineral di tangan kiri, ia habiskan hingga tandas seperti orang yang tengah dehidrasi berat. Depresi ia alami ketika mendapati siluet teman sekaligus penyemangat di dunia tak lagi bernyawa dan kaku bersama mayat yang lainnya.

Kembali menuju balkon, menatap rembulan sabit yang tampak seperti tengah tersenyum padanya. Terpaan angin kencang membuat rambut panjang itu terurai rapi di belakang tubuh merasa sangat #bersalah karena tak pernah membahagiakan adik angkatnya selama hidup.

Duduk di atas kursi berwarna kecokelatan, sesekali menadahkan kepala menuju lantai.

'Tuhan ... mengapa takdir hidup saya seperti ini? Apa yang sebenarnya engkau rencanakan? Apakah Reka benar-benar telah mati, tetapi hati ini seakan tak percaya kalau ia benar-benar telah mati,' batinnya sambil memegang gelas kaca di tangan kiri.

Tiba-tiba, sebuah sosok muncul dari ujung sudut kamar. Melintasi koridor dan memperhatikan dari kejauhan, ia pun merasakan betapa kehadiran sosok itu seperti magnet yang mampu menyeret batinnya lagi.

'Eh, seperti ada yang lagi memperhatiin gue, tapi siapa, ya?' celotehnya dalam hati.

Seketika gadis berambut panjang itu menoleh ke belakang. Ia tak melihat apa pun di sana, seraya ingin memastikan, Denada berjalan menuju ruang kamar yang sudah dipenuhi sebuah bulu berwarna putih. Sama persis ketika ia lihat beberapa hari lalu ketika pulang dari rumah sakit bersama adik angkatnya.

Menumpuk dan membentuk sebuah lingkaran, sudah seperti mahkota raja. Posisi berubah menjadi jongkok dan mengambil satu helai benda aneh tersebut.

"Ini benda apa? Dari mana datangnya, dan ...."

Seraya merumuskan pertanyaan yang datang bertubi-tubi. Ia pun menangkap suara seperti tengah gaduh datang dari luar kamar, berjalan dua kali lebih kencang.

Sampailah Denada di ruang tengah rumah, tak ada orang sama sekali. Firasat buruk tengah ia rasakan seketika, sementara dari lantai tempatnya berpijak, sosok bayangan hitam mencul dan bergerak mengikuti kedua kakinya.

Bulu kudu meremang. Kehadiran yang tak pernah ia saksikan sebelumnya selama hidup dan tinggal di rumah tersebut.

"Siapa kamu! Keluar kamu!" soraknya dengan nada suara ngegas.

Suara aneh terdengar dari atas langit-langit rumah. Seperti desahan hewan berbahaya, merayap dari sudut ke sudut rumah. Keringat mengalir sangat deras, melalui lekuk wajah dan lehernya, membasahi sekujur tubuh.

Detik demi detik berlalu, membuat bunyi desahan berdesik semakin garang dan mengerikan. Memberanikan diri tuk menatap atap rumah. Tiba-tiba sosok bayangan hitam itu turun dan menimpah tubuh gadis berambut panjang.

"Tidak ...!"

Ia berteriak hingga tak sadarkan diri.

Pagi telah tiba, tepat di hari Jumat. Tepatnya, jarum jam menujukkan pukul 07:00. Gadis yang tertidur di atas lantai dari malam, barulah tersadar bahwa ia tak berada dalam kamarnya.

Dalam samar, Dena membuka sedikit demi sedikit kedua bola mata. Pemandangan buram seraya menatap mantap tembok rumah dengan cat berwarna hijau muda. Membangkitkan tubuh dan merubah posisi menjadi berdiri setengah bungkuk. Ia merasakan sakit luar biasa di sekujur badan.

'Gue, kok, ada di sini? Berarti dari kemarin malam gue enggak tidur dalam kamar tidur,' batinnya sambil berjalan menuju kamar mandi.

Tepat di depan rumah sakit, gadis berambut panjang itu kembali dihebohkan dengan sekelompok rekan kerja memadati ruang jenazah. Ya' para dokter, suster dan semua perawat berseragam putih lengkap menatap mantap pintu ruangan tersebut.

Berjalan lima langkah, gadis yang mengikat rambutnya dengan tali rafia berwarna kuning sangat penasaran dan membulatkan mata greget.

Ia menyentuh pundak dua perawat yang sangat lucu, mereka ada di sana juga. "Erin!" panggilnya tertahan. "Lu ngapain ada di sini?" katanya seraya membuang pertanyaan.

"Eh, lu, Den. Gue kira siapa," responsnya dengan menoleh sedikit. Lalu, ia kembali membuang tatapan serius menuju ruang jenazah lagi.

"Ada apa, sih, di sana." Dena menyiku pundak Siska sambil menarik bajunya.

Lawan bicara menarik napas panjang dan membuang dari mulut. "Itu!" tunjuknya sambil berucap singkat."

"Iya ... itu apa?" lanjut Dena.

"Kata penjaga ruang jenazah, kalau jasad Reka hilang."

Sontak gadis berambut panjang itu teriak sekuat tenaga. "Apa ...!"

Erin pun menutup mulut gadis di sampingnya. "Ih, lu, ya. Jangan keras-keras, berisik banget tau enggak!" tukasnya dengan menatap tajam.

"Wah, ini enggak benar. Gue harus masuk dan melihat jasad Adik gue," sosor Dena seraya berjalan dua langkah.

Seketika Siska dan Erin menahan kepergiannya dengan menarik tangan kanan dan kiri gadis berambut panjang.

"Eh, eh, lu mau ke mana?" tanya dua wanita yang berprofesi sebagai perawat rumah sakit.

Wanita dengan rambut yang terikat tali rafia berwarna kuning itu pun kembali berujar. "Gue mau menemui jasad Adik gue lah, napa lu pada?" tantangnya dengan melipat kedua tangan.

"He he he ... silahkan, gue tadi cuma bercanda," ringis Erin. Sepertinya ia bukanlah gadis yang berani untuk melawan wanita berambut panjang itu. Ditambah tubuh Dena sangat tegap dan besar dibanding dua perawat yang ada di depan mata.

"Permisi ... permisi ... gue mau masuk." Dena menabrak sebagian lelaki yang bekerja sebagai penjaga ruang jenazah.

Barisan mayat masih tertutup dengan selimut berwarna putih, sangat rapi tanpa sedikit pun kerusakan. Yang menjadi pertanyaan paling besar adalah, kenapa di posisi tempat tubuh Reka tertidur Kamis malam, sekarang tiada di sana.

Para dokter pun kebingungan dengan ekspresi tengah berpikir keras seputar keanehan.

"Dok! Ke mana jasad Adik saya? Bukankah ia ada di sini kemarin?" celetuk Dena serius.

Lelaki yang berprofesi sebagai dokter dan penjaga rumah sakit hanya terdiam seribu bahasa. Mereka enggak bisa menjelaskan kronologi seputar hilangnya mayat Reka, termasuk juga penjaga yang setiap malam patroli tuk memantau ruangan tersebut.

"Pak! Bukankah Anda bertugas untuk menjaga semua mayat yang ada di rumah sakit ini!" tukas Dena membentak.

Pria dengan masker hijau menutup hidungnya menadahkan kepala menuju lantai, sementara Dena berjalan dua langkah menuju pria tersebut.

"Kenapa Anda diam! Jelaskan ini pada saya. Kenapa rumah sakit lalai dalam menjaga mayat yang ada di sini! Jawab!" bantaknya bertubi-tubu dengan mencengkeram dua petugas yang merunduk.

Dokter pun menyentuh tangan Dena perlahan. "Den, kamu kontrol emosi. Jangan membuat keributan di rumah sakit, saya mohon," ucap pria berkacamata dengan nada suara sangat melas.

"Saya enggak mau tau! Hari ini kalian berdua dan semua petugas harus menemukan jasad Adik saya, kalau tidak ...."

Ia jeda sejenak seraya menetap tajam. "Kalau tidak! Saya akan gugat rumah sakit ini ke pengadilan, agar kalian tidak lagi membuka rumah sakit ini."

Seketika suasana menjadi hening. Tak sepatah kata pun mampu mereka ucapkan tuk membantah gadis berambut panjang itu. Beberapa perawat dan suster yang sedang memadati lokasi menelan ludah.

CROWN FOR MY ANGELWhere stories live. Discover now