BLOOD HALLUCINATION

36 2 0
                                    

Pulang ke rumah larut malam. Sudah menjadi rutinitas gadis yang hidup sebatang kara, untuk wajah ayah dan ibunya saja ia tak tahu.

Memasuki ruang kamar dengan kemerlap lampu yang sedikit remang, pantulan dari cermin berbentuk segitiga mengenai balkon dengan purnama bersinar terang.

Di luar sana, tengah terjadi sebuah peristiwa langit dengan kemunculan bulan purnama penuh. Cahaya menggandeng sedikit demi sedikit awan gelap, sepertinya suasana untuk malam ini kurang bersahabat.

Tetesan air hujan turun rintik-rintik. Duduk sendiri di atas balkon dengan menatap mantap ke atas langit. Bintang yang tadinya bertabur, kini hilang dan menuju tepian berbaris meninggalkan gadis berambut pendek itu.

Tak pernah mendapatkan balasan akan sebuah harapan dari hidup yang monotone, bisa dibilang kelabu menyelimuti—Reka yang menghabiskan malam dengan berdiam diri duduk di balkon rumah.

Ia pun melirik arlojinya yang menunjukkan pukul 24:00. Itu artinya, waktu untuk tidur telah tiba. Kembali memasuki kamar dan sengaja untuk tidak menutup jendela balkon.

'Semoga, malam ini dia datang lagi menemani mimpi gue. Seperti biasanya, semangat dalam hidup adalah ketika ia hadir di sini. Di dalam setiap embusan napas gue pada mimpi indah yang mengiringi hingga pagi datang,' batin Reka seraya menarik selimut berwarna putih.

Belum lama terlelap. Antara sadar atau tak sadar, ia memasuki lorong gelap tanpa setitik cahaya. Dalam samar, kedua bola mata menatap mantap ke arah lurus, berjalan menuju koridor yang menarik sedikit bola berwarna merah.

Ia membatin lagi. 'Itu apa, ya? Dan gue ada di mana?'

Menadahkan kepala menatap kaki, karena jalan yang tengah ia tapaki semakin lembab dan semakin berair. Membulatkan mata girang setelah melihat sayap berukuran sangat lebar membentang hadir di hadapannya. Ya' seperti wujud manusia berparas tampan, akan tetapi memiliki kedua sayap.

Tak habis pikir dalam menafsirkan sebuah penglihatan yang jelas tampak seolah nyata. Saking penasarannya, Reka lanjut berjalan hingga suatu ketika—sosok itu berdiri dan menoleh ke arah Reka.

"Hai," katanya. "Kamu sudah sampai di istana saya, selamat datang," lanjutnya.

Mengedipkan kedua bola mata secara bersamaan. Setelah memasang mata greget, Reka kembali membuang tatapan menuju tembok goa.

"Kamu siapa?" tanya Reka ringan. "Dan kenapa saya bisa ada di sini?"

Ia membalas dengan sedikit tawa kecil.

"Bukankah, kamu sudah mengenali saya."

"Kenal denganmu?" Reka jeda sejenak. "Saya tidak kenal denganmu."

Tanpa balas kata, pria bersayap itu menghilang dengan kedipan mata secara seksama. Reka pun kembali berjalan menemui tempat duduk singgah sana yang seperti sebuah istana dimensi lain. Seraya merumuskan pertanyaan yang datang secara bertubi-tubi dari sosok tampan bersayap layaknya malaikat.

Ia pun menelusuri ruang bernuansa hitam yang sedikit demi sedikit memudar. Tak lama berdiri, ruangan tersebut menjadi sangat gelap, pekat dan tak ada setitik cahaya menemaninya.

"Tidak ...!"

Reka membuka kedua bola mata seraya menatap arloji di dinding kamar.

"Astaga! Gue cuma mimpi. Perasaan baru aja tidur, tetapi sudah pagi. Haduh ... bisa telat gue pergi kerja."

Mengerocos sendirian di dalam kamar.

Sesampainya di rumah sakit, memasuki ruangan tempat biasa ia membuka praktik. Seraya menanti pasien yang akan hadir untuk menemuinya, ia pun membaca beberapa lembar novel fantasi sebagai rutinitasnya.

Wajah sembab #efek mimpi yang sangat aneh malam itu, seketika ketukan pintu terdengar dengan sangat keras membuatnya terkejut dan menaikkan pundak, suara itu datang dari luar ruang praktiknya.

Membuka pintu dengan tangan kanan. Ia manatap tajam seseorang dengan jubah berwarna hitam tengah hadir di hadapannya.

Ia pun menyapa dengan sangat lembut. "Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya ingin konsultasi pada Anda tentang apa yang saya alami sekarang," katanya sangat serius.

"Oke, silahkan masuk. Kita bicarakan bersama tentang keluhan Anda." Reka pun mempersilahkan pasien tersebut dan ia kembali duduk di atas kursinya.

Menatap dengan sangat serius, Reka menanti untuknya berucap. Akan tetapi, pasien yang kala itu ada di hadapan malah terdiam seribu bahasa.

"Mohon maaf ... apa keluhan Anda?" celetuk Reka dengan mengawali ucapan.

Ia menarik napas panjang, seperti tengah bingung hendak memulai perkataan dari mana. Tak lama, suara keras terdengar lagi dari luar ruangan. Tangisan histeris beberapa orang begitu pasih di telinganya.

"Sebentar. Anda tetap di sini, saya akan cek suara di luar. Sepertinya telah terjadi sesuatu." Reka meninggalkan pasiennya seketika dan buru-buru membuka pintu ruang praktinya.

Setelah pintu terbuka, seorang wanita berambut panjang terikat rapi tali rafia berwarna kuning berjalan dengan kencang melintas di depan ruang praktik Reka.

"Denada!" teriaknya dengan suara sedikit keras.

Seketika Dena berhenti dan berjalan mundur menemui pusat suara panggilan. "Ya, Rek. Ada apa, ya?" tanyanya dengan menatap wajah lawan bicara.

Reka balik nanya. "Itu suara apa, ya? Sepertinya histeris banget?"

"Oh, iya. Pasien itu meninggal dunia karena terjatuh, tetapi yang gue herankan, kenapa di bagian pundaknya penuh darah."

"Mak—sudnya? Darah bagaimana?" balas Reka dengan berbicara terbata-bata.

Denada mengangguk. "Gue juga enggak tahu pasti, lagian korban juga bukan orang biasa. Wajahnya misterius gitu."

Sambar Reka. "Lantas, siapa yang nangis histeris itu?"

"Mungkin keluarganya kali."

Denada memukul ringan pundak lawan bicara. "Gue kembali ke sana dulu, entar kita lanjutin."

"Oke."

Karena telah meninggalkan pasiennya terlalu lama, akhirnya Reka kembali masuk dan hendak bertanya seputar keluhan pria berjubah hitam.

"Maaf ... kalau saya meninggalkan Anda terlalu la ... ma."

Membalikkan tubuh dan menatap kursi pasien yang sudah kosong, tak ada siapa pun di sana. Untuk kembali memastikan pasien itu, gadis berambut pendek dengan kacamata bulat menatap ke arah samping kiri dan kanan.

"Hallo ...."

Akhirnya ia duduk lagi di atas kursinya. Seketika bulu kudu meremang, suasana sunyi di ruang praktik membuatnya selalu memekik gelisah. Merasa tak nyaman, dan sedikit takut akan sosok berjubah yang tadinya ada di kursi pasien.

'Pasien tadi ke mana, ya? Kok, enggak ada di sini. Kalau pun ia pergi, pasti lewat pintu depan. Karena akses menuju ke luar hanya ada satu. Akan tetapi, gue enggak lihat ada siapa pun yang keluar dari tadi,' celotehnya dalam hati.

Melirik kanan dan kiri sambil meneguk kopi hangat. Suara berbisik terdengar dari atas langit-langit ruangan. Ia pun menoleh ke atas dan sosok berjubah itu hadir dengan sayap putih yang membentang lebar.

"Tidak ...!"

Beranjak dari tempat duduk dan berlari ke luar ruangan. Sesampainya di ruangan bertuliskan 'Kamar Mayat' Reka pun berhenti sejenak. Bersandar dengan napas ngos-ngosan.

Kedua telinga mencoba menangkap sebuah suara yang datang dari dalam ruangan tersebut. Ia menoleh sedikit dan menatap mantap ke dalam susunan tubuh yang kaku tak bernyawa.

Barisan jasad membuat wanita itu seakan trauma berat dengan sebuah penampakan tak lazim akhir-akhir ini. Baik di dalam rumah, maupun di tempat kerja.

CROWN FOR MY ANGELWhere stories live. Discover now